5 KONDISI YANG MEMBUAT CAHAYA HATI PARA PEJABAT MATI

Kecerdasan Hati

Serial Kecerdasan Hati

5 KONDISI YANG MEMBUAT CAHAYA HATI PARA PEJABAT MATI 

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

Hampir semua WAG yang saya ikuti di tiga pekan ini ramai mengomentari dua berita.

Pertama, soal penembakan polisi oleh polisi di rumah dinas polisi dan yang mati justru CCTV.

Kedua, dan ini baru terjadi sekali seumur Indonesia, tertangkapnya rektor bersama pejabat penting di kampus itu oleh KPK. Hampir pasti soal korupsi.

Pembahasannya secara politik, hukum, aturan dan sampai komentar kelas warung kopi sudah ‘overload’. Sekarang, bagaimana pembahasannya secara kecerdasan hati? Jika hati sebagai raja atau the ruling organ (amir), lalu hati yang bagaimana yang dapat menggelapkan pikiran dan tindakan?

Ada lima kondisi yang dapat mematikan cahaya hati. Ini penting bagi pejabat. Kenapa? “Sabar pada saat hidup sedang berlimpah kemudahan dan kekuasaan justru lebih sulit,” pesan orang bijak.

Pertama, amarah hati yang telah menguasai diri. “Amarah menghilangkan akal sehat,” pesan Rasulullah SAW seperti dikutip Syaikh Nawawi Al-Bantany. Riset mengungkap, 90% tindakan destruktif yang tak terkendali berawal dari amarah (PsychologyToday).

Kedua, hasad (iri-dengki). Status sebagai putra Nabi Adam AS tidak menghentikan Qabil dari kejahatan karena telah dikuasai iri, dengki, dan amarah. Ia membunuh Habil. Artinya, cahaya hati tidak sanggup menyinari pikiran dan tindakannya karena terhalang (mahjub) oleh iri-dengki.

Ketiga, rakus. Negeri + 62 ini menjadi contoh yang sangat nyata. Sudah banyak orang yang bergelimang harta tapi ditangkap KPK. Rakus muncul ketika prinsip hidup tidak sampai menancap di dada. “Siapa yang melihat ke dalam akan sadar dan siapa yang terus melihat ke luar akan melayang,” pesan orang bijak.

Keempat, melemahkan diri (dzalim atas diri sendiri). “Saya sebetulnya ingin menjadi pejabat yang baik, tapi godaan iblis terlalu memaksa. Jadinya, iblislah yang harus bertanggung jawab, ” gumam pejabat itu. Iblis yang mendengar langsung protes. “Saya menggoda Anda untuk korupsi hanya satu juta, tapi Anda malah mengkorupsi 100 miliar!” protes Iblis.

Melemahkan diri menghasilkan sikap permisif terhadap kebobrokan dan tidak ideologis dalam merespon kenyataan. Padahal, untuk menghadapi godaan dan tekanan dibutuhkan perlawanan dari dalam (mujahadah). Hal ini pasti tidak dimiliki oleh orang yang melemahkan dirinya.

Kelima, mendewakan logikanya sendiri dalam mengarungi hidup ini sehingga cahaya ilahi di hati tersingkirkan (mahjuro). Ketika Qarun diminta zakat oleh Nabi Musa, Qorun menolak dengan alasan yang sangat “logis”.

Dia berpikir bahwa dirinya menjadi investor dan pebisnis yang hebat itu karena kompetensinya sendiri dan tidak ada kontribusi Tuhan sedikit pun. Gelaplah hati, pikiran, dan tindakan Qarun.

Semoga bermanfat.