Serial Kecerdasan Hati – KONFLIK DAN KECERDASAN HATI
Serial Kecerdasan Hati – KONFLIK DAN KECERDASAN HATI
Oleh Ubaydillah Anwar, CSC, CPT.
Heart Intelligence Specialist
Konflik adalah cara Tuhan mendidik manusia. Sudah menjadi keputusan takdir bila konflik harus ada di dunia ini. Bahwa nanti ada orang yang menjadi lebih baik, lebih kuat, atau lebih tercerahkan setelah konflik atau sebaliknya, itu pilihan manusia. Bahwa ada konflik yang mendapatkan solusi cepat atau sebaliknya, itu juga pilihan manusia.
Di sinilah letak pendidikannya: menguji pilihan-pilihan manusia.
Teori komunikasi modern menyebut konflik sebagai keniscayaan dari konsekuensi. “Conflict is the consequent,” kata mereka. Setiap ada pihak-pihak yang berkomunikasi dan berinteraksi, pasti nanti ada konflik. Soal konflik itu kemudian menjadi konstruktif atau destruktif, itu tergantung pilihan yang ditempuhnya.
Malah di tahun 1945, Keren Horney, psikolog asal Jerman, menggagas pemikiran yang disebut sebagai kebutuhan dasar manusia, baik untuk melindungi diri atau untuk berkembang. Horney menyimpulkan ada tiga kebutuhan itu, yaitu: a) kecenderungan untuk bergerak menuju orang lain, misalnya bekerja sama, b) kecenderungan untuk menjauhi orang lain, seperti mandiri, dan c) kecenderungan untuk melawan orang lain, seperti adu kekuatan atau konflik.
KENAPA KONFLIK MENJADI SEMAKIN DESTRUKTIF?
Tentu ada sekian sebab/faktor yang membuat konflik semakin buruk dan memperburuk situasi (destruktif). Apalagi jika konfliknya berskala besar, seperti Rusia-Ukraina, Israil-Palestina, Syiah-Syunni, dan seterusnya. Pasti tidak ada faktor tunggal.
Praktik dunia professional menemukan indikasi konflik yang destruktif. Di antaranya: a) mendorong seseorang untuk melemahkan/menghancurkan orang lain, b) menusuk dari belakang secara sembunyi-sembunyi, c) merusak produktivitas, d) persaingan saling mengalahkan, d) menggunakan bahasa yang merusak hubungan, e) sikap acuh tak acuh atau dingin, dan seterusnya.
Dari praktik yang sering terjadi, konflik menjadi destruktif karena masing-masing pihak telah mengalami apa yang disebut “losing perspective” (kehilangan perspektif) yang sehat. Masing-masing pihak telah mendefinisikan bahwa dirinya benar 100% dan lawannya salah 100%.
Akibat kehilangan perspektif tersebut, maka kebencian, amarah, atau kedendaman (general negative emotion) memenuhi dada manusia. Secara kecerdasan hati, sebagaimana ditemukan dalam riset HeartMart Institute, begitu dada terpenuhi oleh emosi negatif, maka secara otomatis seseorang akan kehilangan self-regulation ability (kemampuan mengatur diri).
Sejarah dipenuhi dengan catatan dari tindakan seseorang yang lepas kendali secara ekstrim karena dada dipenuhi amarah atau kebencian. Dimulai dari Qobil putra Nabi Adam sampai ke X,Y, Z, dan seterusnya hari ini.
Jauh sebelum riset di atas mengungkap fakta tentang manusia, malaikat telah menyampaikan ini kepada Nabi Dzulkarnain. Sang Nabi meminta nasihat kepada malaikat agar hidup manusia tidak salah. Malaikat kemudian berpesan: jangan pernah dikuasai amarah. Kenapa? Begitu seseorang dikuasai amarah, maka iblis dapat menyetirnya (kehilangan kendali diri). Demikian kira-kira al-Ghazali dalam kitab Ihya menceritakan pertemuan Nabi Dzulkarnain dengan malaikat.
MENCERDASKAN HATI SEBAGAI SOLUSI
Solusi di sini jelas bukan obat, yang begitu diminum lantas bekerja sendiri. Solusi dari konflik adalah learning steps (langkah-langkah pembelajaran) yang dapat menghantarkan kita menjadi lebih baik.
Idealnya, solusi konflik selalu ada dua, solusi yang berbasis manajemen untuk mengatasi materi atau persoalan yang dikonflikkan. Untuk ini, biasanya yang paling umum adalah negosiasi kepentingan (interest). Hasilnya ada yang menang-menang, kalah-menang, atau saling-mengalah.
Tapi solusi manajemen di atas seringkali belum bisa memperbaiki hubungan manusia yang pernah berkonflik. Harus ada solusi yang berbasis kecerdasan hati. Ini sangat berguna terutama ketika konflik itu terjadi dengan orang-orang dekat yang sebagian besar waktu kita bersama mereka.
Untuk mencerdaskan hati harus dimulai dari apresiasi (menciptakan kesimpulan yang apresiatif), baik terhadap konfliknya atau terhadap orang yang berkonflik dengan kita. Jangan sampai kehilangan perspektif itu berlanjut. Dada yang dipenuhi apresiasi akan menghidupkan otak dan akan memperkuat kemampuan regulasi diri.
Solusi hati lain yang telah disahkan oleh semua agama, semua ajaran spiritual, dan ilmu pengetahuan adalah memaafkan. Memaafkan bukan berarti menghapus kesalahan orang yang menurut kita salah, tetapi menghapus kebencian dan kedendaman dari dada kita.
Dunia ini menyediakan dua jalur untuk proses memaafkan, yaitu jalur darat dan jalur udara. Jalur darat adalah menempuh langkah-langkah memaafkan berdasarkan prosedur ilmu. Dimulai dari meluapkan amarah, bernego dengan diri, sampai bisa menerima, lalu memutuskan untuk memaafkan. Waktunya bisa sehari, seminggu, atau sepuluh tahun.
Sedangkan jalur udara adalah jalur dengan mengendarai burog (bahasa Arab: kilat). Artinya, kita memaafkan orang lain karena perintah iman dan hanya untuk mengharap ridlo Allah. Titik. Ini bisa terjadi seketika atau sangat kilat.
Dialog juga solusi hati sangat bagus. Dialog adalah lawan dari debat. Dialog berarti saling bertukar kebenaran lalu menyepakati aksi-aksi yang perlu dilakukan demi kebaikan. Untuk dialog ini, syaratnya adalah hati yang dipenuhi apresiasi, care (peduli), dan compassion (menganggap orang lain juga penting atau memunculkan kasih sayang).
0 comments
Write a comment