BAGAIMANA GONTOR MENANGANI KEMELUT; PELAJARAN BAGI LEMBAGA BESAR LAIN DI INDONESIA

Kecerdasan Hati

BAGAIMANA GONTOR MENANGANI KEMELUT;
PELAJARAN BAGI LEMBAGA BESAR LAIN DI INDONESIA

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

Sangat super sedikit lembaga pendidikan yang bisa bercerita siapa saja alumninya, apa saja kiprahnya di masyarakat, dan dimana saja mereka berkiprah.

Gontor menjadi salah satunya. Selama 98 tahun eksis, alumni Gontor tersebar di hampir seluruh negara di muka bumi ini. Kiprah, pekerjaan, dan peranannya bermacam-macam. Mereka disatukan oleh kode jiwa: di jidatmu ada PM (Pondok Modern).

“Kesuksesan lembaga pendidikan dilihat dari alumninya,” pesan Kiai Syukri yang saya catat.

Apakah semua alumni Gontor memenuhi standar sukses di masyarakat, baik secara ilmu, akhlak, dan kontribusi? Semua tahu jawabannya: pasti tidak. Ada yang melebihi, ada yang memenuhi, dan ada yang masih membutuhkan perbaikan.

Artinya, ada hetroginitas kualitas lulusan di sana. Ini agak sedikit berbeda dengan sekolah yang sejak di tingkat input sudah menetapkan standard keseragaman, yang sering kita kenal sebagai sekolah unggulan atau kampus mahal.

“Kami ini bukan lembaga asuransi yang menjamin, tapi lembaga pendidikan,” demikian pernyataan Kiai Hasan yang saya dengar dari sahabat. “Gontor telah banyak memberikan, tapi tidak pernah menjajikan,” nasihat ustad saya dulu di kelas.

Ciri Utama Pendidikan Gontor

Menurut cerita, ketika Pak Idham Chalid di tahun 1950-an tampil di pentas nasional sebagai Perdana Menteri RI (1956-1959), dan tokoh bangsa dengan jabatan dan peranan seabrek, KH. Imam Zarkasyi di Gontor tertegun, terharu, dan semakin yakin.

Indonesia yang tengah membutuhkan ulama yang intelek kala itu terjawab sudah. Dan itu adalah murid beliau. Apalagi setelah itu disusul lahirnya banyak tokoh di berbagai bidang dan skala dari Gontor. Kepercayaan masyarakat Indonesia dan dunia kepada Gontor semakin besar.

Apa ciri utama pendidikan Gontor? Yang saya rasakan, rasa pendidikan Gontor yang paling dominan adalah ketegasan. Tegas menerapkan standar, tegas menjalankan, dan tegas bersikap. Semua urusan dimuarakan ke nilai dan fungsi pendidikan.

Demi ketegasan, tidak ada keturunan kiai yang dipanggil gus, seperti tradisi di Jawa umumnya. Semua keturunan kiai mendapatkan perlakuan yang sama di mata disiplin. Keturunan kiai tidak berhak mendapatkan warisan material sedikit pun dari pondok. Tidak semua keluarga kiai itu menjadi keluarga pondok, dan ini diterima sebagai pemahaman terhadap nilai di Gontor.

“Apa yang kamu lihat, kamu rasakan, dan kamu jalankan di Gontor adalah pendidikan,” nasihat Kiai Syukri yang terus saya ingat. “Pendidikan di Gontor itu dari jaros (bunyi bel) ke jaros,” ungkap Cak Nun yang saya dengar langsung.

Ketika ketegasan itu harus diterapkan oleh semua orang, pasti tidak mudah. Lebih tidak mudah lagi ketika ketegasan itu harus dibedakan di lapangan dengan kekerasan atau keangkuhan di level guru muda dan pembimbing, dengan rata-rata usia 20-30 tahun.

Karena itu, antisipasi Gontor terhadap potensi kekerasan yang bersumber dari pemahaman mengenai ketegasan pun terus dilakukan melalui berbagai upaya. Dari mulai komunikasi seribu kali perhari, aturan, kemudahan laporan, sampai ke sanksi hukuman.

Pelaku kekerasan akan disanksi sekalipun niatnya untuk menegakkan disiplin. Artinya, sudah bisa dipastikan bahwa kekerasan bukan mazhab sebuah sistem.

Dalam berbagai kesempatan, Kiai Hasan sering menyampaikan bahwa bukan berarti Gontor tanpa kelemahan sekali pun telah berpengalaman selama hampir 100 tahun di pendidikan.

Namun begitu, tidak berarti kelemahan itu bisa dipahami sebagai peluang bagi setiap orang untuk mengoreksi. “Sebab, kami di dalam ini selama 24 jam melakukan perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan, kontral dan evaluasi,” jelas sahabat saya yang menjadi ustadz senior di sana.

“Siapa yang percaya, silakan masuk. Gontor tidak pernah bikin iklan. Siapa yang tidak, silakan cari yang lain.” Demikian pernyataan awal Gontor kepada semua wali santri dan calon wali santri.

Bagaimana Gontor Menangani Kemelut?

Kasus pelajar di asrama berkelahi atau mengalami kekerasan oleh sesama mereka, bisa terjadi dimana saja. Apalagi jika lembaga itu sudah besar dengan santri ribuan.

Jika kasus tersebut sampai mengakibatkan kematian, seperti dialami ananda Albar Mahdi, santri Gontor asal Palembang, maka tidak ada sistem jiwa dan sistem lembaga yang langsung siap menerima itu. Pasti ada kehebohan, komplain, bahkan kemelut.

Lalu bagaimana menanganinya? Secara professional, ketika kemelut terjadi, dua hal yang harus ditangani serius adalah people (urusan manusia) and problem (urusan masalah). Tidak bisa salah satunya.

Kalau melihat langkah Gontor menangani kemelut tersebut, yang ditayangkan oleh berbagai media, dan isi pernyataannya, kedua unsur penting itu telah terpenuhi dengan berbagai dinamika yang ada.

Urusan people ditangani dengan meminta maaf, menunjuk juru bicara yang otoritatif supaya tidak simpang siur, silaturrahim oleh jajaran pimpinan ke keluarga, bahkan menawarkan beasiswa.

Sementara, untuk aspek problem, Gontor telah langsung memulangkan santri pelaku kekerasan, mengurus jenazah sampai ke orangtua, membuka lebar-lebar proses hukum, dan berkomitmen melakukan perbaikan yang optimal untuk mencegah kekerasan antarsantri melalui sistem.

“Tidak tepat jika ada orang yang mengatakan Gontor menyembunyikan fakta dan baru meminta maaf setelah ada viral di media. Pada hari H, utusan Gontor sudah menceritakan kronologinya dan sudah meminta maaf. Karena itu ada surat terbuka dari pihak keluarga kepada Pimpinan Pondok,” jelas sahabat saya di Palembang.

Tentu, kita semua paham bahwa untuk masalah seberat kematian, tidak ada problem solving yang langsung selesai dan berakhir secara one-off (makjleb). Ada dinamika dan proses yang berlanjut hingga ke titik tertenu.

Hal lain, sama-sama perlu disadari juga oleh lembaga pendidikan manapun, bahwa sejak tahun 2000, dunia mengalami disrupsi teknologi. Ada kekuatan baru yang menggeser tatanan hidup lama sehingga hadir tatanan baru.

Dengan disrupsi itu maka semua orang adalah pemilik kantor redaksi untuk surat kabarnya sendiri. Dan kantor itu dibawa kemana-mana di sakunya. Setiap orang bebas ngomong, bebas nulis, lalu ditampilkan di medianya sendiri kapan saja.

Apa maknanya ini bagi institusi dan organisasi? Selain perlu konsen pada people dan problem, satu hal lagi yang penting di tatanan hidup baru ini: kecepatan mengoptimalkan media.

Semoga bermanfaat.