BAGAIMANA MENGUASAI SKILL BARU DENGAN MENGOPTIMALKAN KECERDASAN HATI?

Kecerdasan Hati

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

Mendadak saya mendapatkan kejutan dari seorang sahabat. “Saya serius akan mencalonkan diri sebagai legislator di Senayan,” tegasnya begitu.

Tentu saya kagum dengan komitmennya dan pastinya saya memberi support. Kami sering berdiskusi ngalor-ngidul dengan kesimpulan: politik adalah sentral perubahan besar bagi bangsa dan negara.

Selama ini, sahabat saya ini adalah seorang professional di bidang psikologi. Karena akses informasi dan jaringannya semakin luas, maka peluang yang datang kepadanya juga sebagai banyak.

Tidak menutup kemungkinan hal ini juga Anda alami. Peluang baru semakin banyak seiring dengan bertambahnya pengalaman, kiprah, dan jaringan Anda.

Tentu semua orang tahu bahwa tidak ada peluang yang bisa dieksekusi dengan hanya komitmen. Butuh skill baru jika peluang itu menawarkan tantangan baru dengan benefit dan dampak yang lebih besar. “High risk high return,” kata sahabat saya.

Skill baru juga dibutuhkan jika kita hari ini terancam akan “dideportasi” ke tempat lain karena pendatang baru lebih jago dan lebih cocok dengan demand zaman.

Riset Bank Dunia mengungkap setidaknya 52% tenaga kerja Indonesia membutuhkan re-skilling (diberi skill baru) dan up-skilling (dinaikkan penguasaan skill-nya).

KECERDASAN HATI UNTUK PERFORMA DIRI

Ketika membahas kecerdasan hati, tidak berarti otak tidak penting. Ini keliru. Justru hati perlu dicerdaskan agar otak bisa bekerja makin optimal atau agar terjadi kerjasama yang makin sinergis antara hati (dada) dan otak (kepala).

Kenapa harus dimulai dari hati? Baik secara wahyu, ilmu, dan praktik manusia telah disimpulkan bahwa hatilah yang menjadi leader dalam pemerintahan jiwa dan raga (the ruling organ).

Bagaimana praktiknya dalam pembelajaran skill baru? Kita bisa menjalankan learning steps berikut:

Pertama, memperdalam self-understanding. Tingkatkan dialog hati untuk menambah pemahaman mengenai diri. “Walaupun Anda mengetahui banyak hal di dunia ini, tetapi jika Anda tidak mengetahui diri Anda, sama saja Anda tidak mengetahui apapun,” pesan orang bijak.

Pemahaman diri di sini mencakup, antara lain: apa target Anda, apa keunggulan Anda, apa peluang yang bisa Anda raih dengan kapasitas yang ada, apa problem Anda, dan skill apa yang benar-benar Anda butuhkan.

Sambil memegang dada, bukalah dialog penting tersebut. Jawabannya akan muncul di saat Anda seringkali tidak menyadarinya (fi ajalin musamma).

Dialog tersebut perlu diperluas dan diperdalam hingga mendapatkan pemahaman yang lebih komplit dan akurat mengenai diri secara internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (problem dan peluang).

Ilmu mengenai diri inilah yang sesungguhnya wajib dicari (fardlu ain), baik untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat. Khalifah Ali bin Abu Thalib menyebutnya sebagai ilmul hal (ilmu keadaan diri).

Oleh pakar psikologi dari Cornell University Amerika, Prof. R. Stenberg disebut sebagai the successful intelligence (kecerdasan untuk sukses). Kecerdasan ini bertumpu pada tiga kemampuan, yaitu: menganalisis keadaan, kreatif merespon keadaan, dan kemampuan mempraktikkan.

Kedua, menemukan metode yang cocok. Untuk orang dewasa, banyak model pembelajaran yang bisa dilakukan, tergantung skill-nya dan arenanya. Untuk skill baru yang mengandung keterampilan tinggi, orang dewasa umumnya sangat bagus menerapkan model 70:20:10.

Belajarlah dari praktik langsung (70%), belajarlah dari orang lain (20%) dan belajarlah teorinya secara otodidak atau dari kelas (10%). Tentu, angka ini bukan angka matematis, melainkan angka indikatif. Misalnya public speaking. Anda mau baca buku setebal 1000 halaman pun tidak mengubah Anda jika tidak dipraktikkan. Harus banyak praktik dan belajar ke orang.

Bagaimana kalau kandungan konseptualnya tinggi, misalnya membangun personal brand? Anda bisa menerapkan model formal learning (terprogram), informal learning (bebas), dan social learning (mentor dari para senior) secara seimbang.

Untuk menemukan metode yang cocok, biasanya intuisi hati berperan penting. Luangkan waktu untuk memanggil pengalaman masa lalu di keheningan. Intuisi hadir bisa dalam bentuk dorongan tertentu atau “aha” tertentu.

Ketiga, temukan kepastian. Semua orang tahu bahwa belajar skill itu bagus, tetapi yang lebih penting adalah menemukan kepastian bahwa skill yang Anda pelajari itu berdampak serius pada peningkatan performa.

Di sinilah dibutuhkan berpikir kritis. Supaya otak bisa bekerja dalam mempertanyakan efektivitas belajar, hati harus bening. Jika hati dikuasi oleh berbagai suara yang tidak penting, sulit seseorang mempertanyakan efektivitas kegiatannya. Al-Quran telah mengajarkan bahwa ciri orang beriman yang serius adalah kemampuannya dalam menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak penting (QS. al-Mukminuun: 3).

Dunia pendidikan kita sering menjadi sasaran protes karena gagal mempertanyakan hal mendasar: kenapa anak yang sudah duduk di bangku sekolah 16 tahun tapi malah jadi beban sosial karena menganggur? Ada apa? Yang salah anaknya, sekolahnya, atau sistemnya? Nasihat Einstain: the important thing is not to stop questioning.

Keempat, temukan panggilan hati tertinggi (purpose). Fakta di dunia dan hasil riset Harvard Business Review (HBR) mengarah pada kesimpulan yang sama bahwa yang berperan dominan bagi kiprah seseorang itu ternyata purpose, bukan passion (bakat, keunggulan, skill teknis, dst).

Purpose dalam hal ini adalah Anda menemukan jawaban dari pertanyaan hati: peranan besar apa yang optimal dapat saya lakukan untuk berkontribusi pada dunia ini yang dampkanya sampai ke akhirat?

Begitu Anda menemukan jawaban yang semakin dalam, semakin kuat, dan semakin bermakna, maka energinya semakin besar. Otak manusia akan memunculkan gelombang GAMMA ketika hatinya menemukan makna tertinggi. Dan ini akan membuat pembelajaran semakin dahsyat.

Inilah yang bisa menjelaskan kenapa Ki Hajar yang bukan doktor pendidikan menjadi tokoh pendidikan. Kenapa KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari yang bukan doktor leadership menjadi tokoh organisasi besar. Dan seterusnya dan seterusnya sampai ke para nabi.

Semoga bermanfaat.