CARA JITU MENDEBAT GAGASAN ORANG LAIN DI TEMPAT KERJA

Kecerdasan Hati

Serial Kecerdasan Hati

CARA JITU MENDEBAT GAGASAN ORANG LAIN  DI TEMPAT KERJA

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

Praktik membuktikan bahwa kesempurnaan sebuah konsep dan praktik sering dihasilkan dari bersatunya keragaman. Ajaran agama menyampaikan: fainnal barokata fil jama’ah (Ada kebaikan yang berlimpah dalam kolaborasi).

Sejumlah hasil riset yang saya baca di Harvard Business Review dan di The Managers’ Toolkit semakin menguatkan. “Cognitive diversity makes a group smarter,” tulisnya. Keragaman membuat kelompok lebih cerdas.

Bahkan ada temuan yang mengungkap, banyak kelompok yang menjadi melempem bukan karena tidak ada konflik, tetapi karena semua ‘adem-ayem’ (passive and indecisive).

Tak bisa dipungkiri bahwa keragaman yang produktif itu dalam prosesnya sering dihasilkan dari debat. Apesnya, debat sendiri tak selalu konstruktif. Malah lebih sering destruktif.

Karena itu, dibutuhkan cara-cara jitu agar dapat membuahkan hasil yang jempolan dalam mendebat gagasan teman kerja.

Darimana dimulai? Sebelum otak dan mulut bekerja, hati perlu ditata lebih dulu. Kita mendebat bukan untuk mengalahkan, menjatuhkan, menjauhkan, atau karena ada interest tersembunyi yang licik.

“Ingat, kita di kapal tim yang sama. Tidak ada yang menang untuk mengalahkan. Tujuan utama kita adalah mencapai tujuan utama tim.” Demikian sahabat saya kerap mengingatkan timnya.

Pada tingkat penerapan skill, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Mampu memberi perspektif yang sehat pada gagasan orang lain. Artinya, selain tahu kelemahannya, juga tahu kelebihannya.
  2. Menyampaikan maksud dengan bahasa yang jelas dan spesifik.
  3. Fokus mendebat gagasan, bukan pada orang, apalagi menyalahkan orangnya. Lalu hadirkan gagasan yang menurut Anda lebih bagus.
  4. Perkuat gagasan dengan fakta, kebijakan perusahaan, opini ahli, hasil riset, atau pengalaman orang lain. Artinya, Anda membuka kemungkinan baru.
  5. Tetap bisa mendengarkan dengan baik.

Terakhir, kerendahan hati (tawadlu) adalah kunci sukses bagi yang mendebat dan yang didebat. Tanpa kerendahan, debat mendebat malah mengacaukan otak dan mulut.

Kerendahan hati mengandung dua unsur.

Pertama, menyadari ketidaksempurnaan secara konstruktif. Hasilnya, mau mendengar, mau memperbaiki, terbuka pada perspektif baru, dan mau belajar terus.

Kedua, menyadari bahaya kesombongan (merendahkan orang lain). Hasilnya, memperlakukan orang dengan baik, tidak mudah menolak orang, dan tidak mudah kehilangan kontrol atas omongan, sikap, dan tindakan orang lain.

Artinya, kerendahan hati menghasilkan kemajuan dan kedekatan. Riset terhadap 1435 pemimpin korporasi yang disebut the great leaders menyimpulkan kerendahan hati menjadi ciri nomor satu (Jim Collin: 1996).

Rasulullah SAW mengajarkan, “Dan tidaklah seseorang bertawadlu’ karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim).