Akademi Soft Skills Indonesia

Artikel

Artikel

KENAPA PROTES DIRI ITU PENENTU KARAKTER PRIBADI?

Serial Kecerdasan Hati

KENAPA PROTES DIRI ITU PENENTU KARAKTER PRIBADI?

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist

Sering ada pertanyaan, kenapa ketika di Singapore atau Finlandia, orang Indonesia bisa berdisiplin di ruang publik, tapi begitu sudah kembali, perilaku itu berganti? Seorang teman di Bandara protes. Kesaksiannya, orang habis umrah saja tidak bisa ngantri. Padahal di sana berdoa menjadi umrah yang mabrurah, dan ciri kemabruran adalah akhlak mulia di ruang publik.

Karakter kolektif di ruang publik, memang lebih mudah dibentuk oleh regulasi, manajemen, atau budaya dominan. Kita bisa dengan mudah menghadirkan sifat atau perilaku tertentu di ruang publik karena ikut mayoritas atau takluk pada regulasi.

Dengan sifatnya yang mudah dibentuk itu maka karakter kolektif di ruang publik terkadang tidak disebut sebagai karakter asli pribadi seseorang. Karakter asli dihasilkan dari upaya untuk mengukir sifat ke dalam diri sehingga menjadi jati diri. Karakter asli merupakan hasil dari pencapaian. Karakter kolektif lebih tepat untuk disebut sebagai karakter paksaan atau sebatas ciri khas sosial.

Darimana karakter asli pribadi terbentuk? Jika ada yang bilang bahwa karakter tersebut terbentuk dari pilihan-pilihan kecil sehari-hari, memang itu tidak salah. Pilihan kita dalam merespons keadaan mencerminkan karakter kita. Misalnya, ketika Anda dihadapkan pada kegagalan, di sana banyak pilihan. Pilihan yang sering Anda jalankan itulah karakter Anda.

Apakah pilihan itu muncul begitu saja atau bagaimana? Di sinilah rahasia protes diri. Protes diri adalah ketidakpuasan seseorang pada bagian tertentu dari dirinya yang menghasilkan kesadaran untuk perbaikan atau perubahan. Bagian tertentu itu bisa jadi sebuah sifat, akhlak hubungan, panggilan sosial, atau keahlian. Protes yang demikian akan menjadi penguat karakter.

Tampilnya Bung Karno, Panglima Soedirman, Bung Hatta, KH. Hasyim Asy’ari atau KH. Ahmad Dahlan karena protes pada dirinya apabila diam melihat keadaan. Karena itu, bila membaca konstruksi Imam Ghazali mengenai akhlak, seperti dalam Ihya, maka penolakan (al-ghadhob) menjadi material rohani yang sangat inti untuk menegakkan empat pilar akhlak, yaitu al-hikmah (kebijaksanaan), keberanian (asy-syaja’ah), pengendalian diri (iffah), dan adil.

Penolakan yang dikelola dengan baik dan proporsional, akan menghasilkan keberanian. Tidak disebut berkarakter jika keberanian hilang dari seseorang. Protes yang kuat ke dalam akan menghasilkan keberanian bertindak. Tapi jika penolakan itu berlebihan dan salah arah, maka hasilnya destruktif karena merusak ke dalam dan ke luar, seperti minder, inner conflict, perfeksionis yang tidak jelas, atau protes yang merusak.

Sebaliknya, bila seseorang kurang memiliki penolakan (ifrod), hasilnya pasrah pada keadaan atau menerima secara lemah, dan ini tidak menghasilkan karakter. Bahkan guru besar ilmu tasawuf, Ibnu Athoillah dalam al-Hikam, menyebut sebagai sumber kemaksiatan dan kelengahan. “Ashlu kulli ma’shiatin waghoflatin ar-ridlo anin nafs,” tulis beliau.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel

LIMA PILAR KEPERCAYAAN

Serial Kecerdasan Hati

LIMA PILAR KEPERCAYAAN

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist

Dalam hubungan profesional di tingkat individu dan organisasi, kepercayaan (trust) menempati posisi yang paling menentukan. Bahkan melebih hubungan keluarga maupun pertemanan. Sudah biasa kita menyaksikan seseorang lebih memilih orang lain ketimbang keluarganya untuk urusan pekerjaan.

Bahkan dalam dunia kejahatan, kepercayaan mampu mengacaukan bangunan karakter manusia. Orang jahat pun ternyata membutuhkan orang yang terpercaya untuk mengelola hasil kejahatannya.

Berdasarkan hasil riset dan praktik, dibutuhkan lima pilar utama untuk membangun sebuah trust di hubungan profesional, baik di level pribadi maupun organisasi. Yaitu karakter, kompetensi, komunikasi, koneksi, dan sistem.

Pilar karakter menjadi utama. Karakter adalah upaya mengukir sifat-sifat di dalam diri yang menghasilkan karakteristik (ciri utama). Jujur, tanggung jawab, dan loyal adalah karakter yang sangat dibutuhkan dalam hubungan profesional.

Pilar kompetensi menjadi pasangan tak terpisahkan dengan karakter. Kepercayaan seseorang akan langsung menguat ketika melihat karya, portofolio, hasil kerja, atau berbagai bukti kompetensi. Kompetensi berarti seperangkat keahlian yang kita gunakan untuk menjalankan pekerjaan, profesi, atau peranan.

Pilar komunikasi menjadi penjelasan kompetensi dan karakter. Dibutuhkan cara komunikasi yang meyakinkan untuk membangun kepercayaan. Data, saluran, dan desain komunikasi sangat dibutuhkan.

Pilar koneksi menjadi penguat. Lingkungan, jaringan atau tautan dengan pihak-pihak yang sudah mendapatkan trust dari banyak orang akan sangat membantu.

Pilar sistem bagi organisasi sangat dibutuhkan. Kejelasan tata kelola dan manajemen informasi adalah kualitas yang sangat menentukan kredibilitas sebuah sistem.

Praktik sudah membutuhkan, hubungan yang dipenuhi trust akan menjadi hubungan yang positif sehingga terbebas dari konflik yang membebani. Lebih dari itu, hubungan juga menjadi lebih sinergis sehingga menghasilkan manfaat yang lebih riil.

Organisasi yang dipenuhi trust, jauh lebih produktif dan lebih kuat loyalitas orang-orangnya. Survei CEO global tahun 2016 oleh Pricewaterhouse Coopers (PwC) melaporkan,  55% CEO menyimpulkan bahwa kekurangan kepercayaan menjadi hambatan perkembangan organisasi.

 

 

 

 

Artikel

APA KESALAHAN KITA DALAM MENANGANI STRES?

APA KESALAHAN KITA DALAM MENANGANI STRES?

| Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist |

Stres adalah konsekuensi dari gerakan. Ibarat jiwa kita ini mesin, supaya gerakan itu muncul maka harus ada adu dorongan positif dan negatif untuk menghasilkan tegangan dan panas yang mengerakkan.

Pada hakikatnya, mesin pun mengalami stres ketika bergerak. Maka, persis seperti pesan petuah bijak, kalau Anda tidak pernah mengalami stres, berarti Anda belum pernah melakukan hal-hal yang sangat penting bagi hidup Anda.

Artinya, stres bukan pilihan bagi orang yang bergerak. Pilihan yang tersedia hanya pada respon konstruktif (ikhtiyar: memilih yang baik) atau respon destruktif (merusak). Al-Quran menegaskan, “(Allah) yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,” (QS. al-Muluk: 2).

Bagaimana respon konstruktif dapat kita ciptakan untuk menjadi manusia yang lebih baik amalnya (responnya)? Kita bisa mempraktikkan Formula 4M berikut:

M1: Menghindari (Avoid). “Orang pintar tahu apa yang diinginkan, tapi orang bijak paham apa yang harus dihindari,” demikian pesan Jack Ma dalam videonya. Terkadang harus bijak untuk merespon stres secara konstruktif.

M2: Menerima (Accept). Terimalah dengan baik apa yang tidak bisa engkau tolak, maka hidupmu akan bahagia. Jika engkau hidup di sini, tapi hatimu di sana, maka engkau stres. Demikian pesan bijak bertutur. Terkadang kita perlu menerima sebagai respon konstruktif terhadap stres.

M3: Mengalahkan (Alter). Banyak stresor (masalah) yang harus dikalahkan atau diselesaikan, sebab akan menimbulkan rentetan stres jika dibiarkan. Di kondisi dan posisi tertentu, menutup sumber bahaya itu harus diprioritaskan ketimbang membuka peluang untuk mendapatkan manfaat.

M4: Mengolah (Adopt). Sebagian besar inovasi dan kesuksesan manusia bersumber dari kemampuan mengolah tegangan dan panas dari stres sehingga mereka terus bergerak dengan mengeksekusi,  mengevaluasi, dan mengantisipasi.

Dalam praktiknya, persoalan hidup yang membikin kita stres tidak bisa dikelompokkan secara terpisah menurut formula di atas, karena satu sama lain saling terkait. Bisa jadi, dalam satu stresor terdapat bagian yang harus diterima, dihindari, dikalahkan dan diolah. Di sinilah dibutuhkan hati yang cerdas agar head (pikiran), hand (skill), dan heel (gerakan) kita terkelola dengan baik.

 

Artikel

5 Tips untuk Caleg Gagal Supaya Tidak Stres, Ubah Kegagalan Jadi Kebangkitan

5 Tips untuk Caleg Gagal Supaya Tidak Stres, Ubah Kegagalan Jadi Kebangkitan

Masyarakat Indonesia sangat adaptif dengan berbagai macam musibah. Mereka mencoba terus menjalani hidup meski peristiwa tak menyenangkan terjadi. Mereka sebisa mungkin membuat hidup berjalan sebiasa mungkin dengan modal sabar pasif dan syukur pasif alias cuek.

Itulah yang mungkin menjadi salah satu faktor penentu kenapa indeks kebahagiaan kita menurut BPS tergolong bagus. Padahal, indeks kesejahteraan dan ketertiban sosial rendah.

Kebahagiaan adalah perasaan subjektif dan ini sangat berkaitan dengan respons seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, termasuk bagaimana seseorang merespons musibah. Salah satu musibah yang sedang dialami banyak orang yang turun ke dunia politik saat ini adalah gagal nyaleg.

Ubah kegagalan jadi bermanfaat

Merespons kegagalan dengan legawa menerimanya memang baik untuk meredam kekecewaan. Namun, akan lebih baik lagi jika kegagalan itu direspons dengan tindakan generatif untuk mendapatkan manfaat dari kegagalan yang dialami. Ada 5 kunci penting untuk bisa menerapkan sikap ini. Berikut kelima kunci itu beserta penjelasannya.

1. Tsawab (Pahala)

Tsawab berarti upah atau ganjaran yang akan diterima seseorang di akhirat. Di balik musibah, ada tsawab. Hal ini tidak bisa dibuktikan kecuali dengan iman.

Syarat untuk mendapatkannya rida dengan segala kejadian dan takdir yang kita alami. Hal ini juga harus disertai dengan keyakinan bahwa kehendak Allah SWT terhadap diri kita bersifat mutlak. Kita berasal dan hanya akan kembali kepada-Nya.

Rida adalah berdamai dengan kenyataan karena Allah memerintahkan demikian. Kita harus mengakui bahwa semua yang terjadi atas izin Allah yang Maha Segalanya.

2. Magfirah (Pengampunan)

Pengampunan berarti kita dibebaskan dari konsekuensi buruk yang mestinya kita terima. Di balik musibah, ada pengampunan. Untuk mendapatkan itu, syaratnya evaluasi kesalahan, mengakui adanya kesalahan, berkomitmen untuk perbaikan, lalu action.

Inilah yang disebut taubat (kembali ke titik yang benar). Evaluasi adalah syarat pengampunan. Hasilnya langsung bisa kita rasakan di dunia dan di akhirat (jika taubat diterima).

3. Rif’atun (Kenaikan Derajat)

Di balik musibah, seseorang bisa dinaikkan derajatnya. Syaratnya adalah mengolah rasa tidak enak akibat musibah menjadi energi untuk berbuat sesuatu dan mengalihkan perhatian dari meratapi nasib.

Formula perubahan diri yang sudah banyak berhasil selalu terdiri atas: dissatisfation (ketidakpuasan atas keadaan sekarang) + action (tindakan) = desired island (tujuan nyata perubahan). Hampir semua kesuksesan diolah dari kegagalan yang dijadikan energi positif.

4. Thamisun (Keunggulan)

Musibah bisa menguji kualitas seseorang. Di balik musibah, ada peluang untuk menjadi manusia yang terpilih (unggul) secara karakter.

Karakter unggul di antaranya sabar, jujur, atau peduli. Jika manusia menjadikan musibah untuk pendidikan karakter, maka hasilnya pasti baik di dunia dan di akhirat, tentu dengan syarat melakukannya demi mendapatkan rida Allah.

5. Taslimun (Penyelamatan)

Musibah juga berarti cara Allah untuk menyampaikan pesan bahwa apa yang kita mau, belum tentu baik untuk kita, begitupun sebaliknya. Kita harus berhusnuzan (berprasangka baik) kepada Allah atas segala kejadian yang kita alami.

Husnuzan akan menghasilkan optimisme yang tentu harus dilanjutkan dengan aksi yang selaras dengan optimisme itu. Optimisme tanpa aksi, hanya akan menjadi tipuan hati.

Itulah lima makna musibah yang dapat kita respons secara konstruktif, supaya musibah yang kita alami tidak menghantarkan kita menjadi orang yang paling sengsara.

Tentu, respons konstruktif terhadap musibah gagal nyaleg tidak berarti menggugurkan tanggung jawab seseorang untuk menolak koreksi atas penyimpangan yang terjadi.

Dia harus tetap mengupayakan koreksi itu sebagai bagian dari tanggung jawab dia sebagai warga negara. Penolakan terhadap penyimpangan dan pelanggaran sangat dibutuhkan untuk menegakkan keadilan.***

Artikel

MEMBEDAKAN RIDHO KONSTRUKTIF DAN RIDHO DESTRUKTIF

Serial Kecerdasan Hati

MEMBEDAKAN RIDHO KONSTRUKTIF DAN RIDHO DESTRUKTIF

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist

“Apakah kalian sudah beriman?” demikian pertanyaan Rasulullah SAW kepada sekelompok orang Madinah yang belum lama bersyahadat. “Tentu, ya Rasulullah, kami beriman,” jawab mereka.

Rasulullah bertanya lagi, “Apa bukti keimanan kalian?” Terhadap pertanyaan ini, mereka diam. Sahabat Umar bin Khattab yang kala itu berada di tengah mereka, langsung menjawab.

“Kami ridlo atas takdir, sabar atas ujian, dan syukur atas nikmat,” demikian Khalifah Umar menjelaskan. Terhadap jawaban itu, Rasulullah SAW langsung menyetujui.

Demikian Imam Ghazali menceritakan kisah di atas dalam Ihya.

Ridho adalah perintah iman. Ridho berarti berdamai secara positif terhadap kenyataan yang sudah tidak bisa diubah, walaupun kita tidak setuju atau tidak pro. Untuk ridho memang butuh modal. Selain iman, dibutuhkan juga keikhlasan dan jembar hati.

Ridho ini sangat berdampak positif bagi jiwa manusia selama dijalankan sebagai rangkaian bersama sabar dan syukur yang terus berthawaf (bergerak melingkar). Ketika seseorang ridho, maka saat itu juga jiwanya terbuka untuk berubah. Pintu perubahan seseorang tertutup rapat ketika sikap batinnya menolak (denial).

Jiwa yang sudah terbuka untuk berubah adalah modal yang sangat bagus bagi perjuangan mengubah kenyataan yang pasti menuntut kesabaran. Sabar adalah kekuatan untuk bertahan dalam memperjuangkan tujuan atau solusi persoalan. Sabar adalah prinsip yang tidak bisa diganti.

Riset HeartMarth Institute (1988) menyimpulkan bahwa daya tahan seseorang dalam memperjuangkan tujuan akan rendah apabila banyak ledakan emosi negatif yang tidak terkontrol. Ridho adalah sistem untuk menyimpan emosi positif dan mencegah ledakan emosi negatif.

Ridho dan sabar saja masih belum optimal kecuali ditambah dengan syukur. Syukur berarti kita menyimpulkan hidup kita hari ini sebagai anugerah yang luar biasa, baik nikmatnya maupun persoalannya (pengalaman yang pasti ada manfaatnya). Karena itu, kita diperintah untuk membimbing hati sehabis sholat dengan bacaan “Al-hamdulillah ala kulli halin wanikmatin” (aku bersyukur atas semua pengalaman dan nikmat).

Dengan bersyukur berarti kita tidak menyimpulkan bahwa hidup kita, lingkungan kita, dan dunia kita gelap total, rusak semua, ancur tak tersisa, tak ada nikmatnya sama sekali. Padahal, dalam keadaan apapun, pasti ada ruang yang bisa kita syukuri, baik hidup kita internal maupun eksternal.

Sebagai perintah iman, bersyukur menyimpan keajaiban. Syukur memberi kebahagiaan, syukur menjadi kekuatan daya tarik pada kenikmatan, syukur dijauhkan dari siksa Allah, dan syukur adalah bukti bahwa kita menyembah Allah SWT.

Ridho yang diteruskan dengan sabar dalam memperjuangan aspirasi, inspirasi, atau visi, lalu digandeng dengan syukur adalah ridho yang konstruktif. Pasti menghasilkan prestasi, kontribusi, atau solusi yang bermanfaat.

Tapi ridho menjadi destruktif, meskipun kerap menghasilkan ketenangan dan kebahagiaan, apabila dipraktikkan sendirian dan terpisah. Ridho menjadi semacam pengingkaran tanggung jawab, pelarian, atau helm bagi kelemahan. Inilah ridho destruktif.

Bersikap ridho saja terhadap penyimpangan dan pelanggaran di sekitar kita secara sosial sangat destruktif. Makanya disebut setan bisu. Dunia ini kacau bukan saja oleh penjahat, tetapi oleh orang-orang baik yang ridhonya destruktif. Suatu negeri tidak hancur selama di dalamnya ada banyak orang yang peduli pada perbaikan (ridho konstruktif).

Demikian juga ketika seseorang ridho terhadap keadaan dirinya hari ini, namun hanya sebatas ridho. Ibnu Athoillah, penulis Al-Hikam, berpesan: “Ibu kemaksiatan, kelengahan, dan kengawuran adalah ridho pada diri sendiri. Dan ibu dari ketaatan, kebangkitan, dan kematangan adalah ketika seseorang menolak untuk ridho.”

Artikel

KEBAIKAN YANG MEMBUAHKAN KEBURUKAN DAN KERUGIAN

Serial Kecerdasan Hati

KEBAIKAN YANG MEMBUAHKAN KEBURUKAN DAN KERUGIAN

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist

Ternyata, tidak semua kebaikan akan membuahkan Kebaikan. Ada kebaikan yang malah membuahkan keburukan, dan bahkan kerugian di akhirat. Hanya kebaikan yang dibarengi ketakwaan yang dapat menghasilkan kebaikan yang optimal. “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang yang bertakwa.” (QS. Al-Ma’idah: 27).

Kebaikan yang dijadikan sebagi modus kelicikan adalah kebaikan yang menghasilkan keburukan. Katakanlah untuk memanipulasi atau mengeruk kepentingan pribadi. Misalnya, berkedok untuk membangun yayasan. Dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh yang lebih banyak.” (QS. Al-Muadatsir: 6).

Kebaikan yang diberikan dengan cara yang menyakitkan hati adalah kebaikan yang terlarang karena memang itu buruk.  “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqoroh: 263)

Kebaikan yang melebihi batas yang tepat (Isrof) juga akan menghasilkan keburukan. Mengoreksi kesalahan bagi guru kepada muridnya atau bagi atasan kepada bawahan itu baik. Tapi kalau bobot dan jumlahnya melebihi batas yang tepat, dapat menghasilkan keburukan. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan (dalam) urusan kami . . . “ (QS. Ali Imran: 147).

Kebaikan yang diberikan di tempat atau kontek yang tidak tepat juga berpotensi menghasilkan keburukan. Nasihat yang diberikan di tempat yang sepi dan disampaikan dengan hati-hati, akan seperti salju yang turun dari gunung ke bumi. Maksudnya, akan masuk ke hati. Tapi jika disampaikan di depan umum, nasihat itu sering dipahami sebagai penghinaan atau upaya untuk mempermalukan. Demikian Imam Syafi’i mengingatkan.

Kebaikan yang dilakukan tanpa manajemen dapat menimbulkan keburukan, misalnya tidak efektif dan tidak efisien. Katakanlah, membangun masjid di lokasi yang jumlah masjidnya sudah banyak. Atau memberikan donasi sekolah gratis tapi sasarannya tidak tepat sehingga menimbulkan jurang miskin-kaya semakin lebar. Di sinilah pentingnya figh prioritas yang pernah digagas oleh ulama besar asal Mesir, Yusuf Qordawi.

Kebaikan yang tidak ada “Allah-nya” sama sekali dalam niat termasuk kebaikan yang akan menghasilkan kerugian. Balasan dari kebaikan itu hanya di dunia yang pendek, padahal manusia akan hidup di akhirat selamanya.

Al-Quran mengingatkan, “Katakanlah, maukah kalian kuberi tahu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Mereka adalah orang-orang yang sesat usahanya di dunia sedangkan mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya.” (Al-Kahfi 103-104).

Bagaimana kalau kita memberikan kebaikan kepada orang atau lembaga yang malah diselewengkan, seperti yang banyak terjadi di kita? Kebaikan yang kita berikan dengan niat dan cara yang baik memang tetaplah kebaikan. Tapi untuk menghasilkan kebaikan yang lebih optimal, sunnahnya tetap perlu mempertimbangkan potensi penggunaan dan penyelewengan. Sisanya kita pasrahkan.

Sebagai renungkan, barangkali inilah hikmah kenapa seruan yang paling masif di agama untuk kebaikan adalah memberikan makan, memberikan barang/fasilitas yang bisa digunakan atau menolong dengan tangan (fisik, keahlian, atau kekuasaan), bukan cash. Sekalipun memang tidak ada larangan juga bantuan dalam bentuk cash itu.

Semoga bermanfaat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel

GANGGUAN MENTAL MENJADI PALING MENGKHAWATIRKAN DUNIA!

Serial Kecerdasan Hati

GANGGUAN MENTAL MENJADI PALING MENGKHAWATIRKAN DI DUNIA!

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist | www. kecerdasanhati.com

Survei internasional mengungkap, gangguan mental menjadi masalah nomor 1 dari 14 masalah yang paling dikhawatirkan manusia. Angka indikatifnya sampai 44%. Masalah lain menyusul, seperti obesitas (25%), narkoba (22%), dan merokok (12%). Survei Ipsos ini melibatkan 23.274 responden dewasa yang tersebar di 31 negara pada periode 21 Juli-4 Agustus 2023.

Di Indonesia, respondennya berasal dari kelompok usia 21-74 tahun. Kapankah seseorang disebut mengalami gangguan mental? Terlepas dari skalanya, pemahaman mengenai gangguan mental dapat dipahami dari penjelasan WHO mengenai kesehatan mental.

Tahun 2016, WHO menjelaskan bahwa seseorang disebut memiliki mental yang sehat (mental health) apabia ia dapat menggunakan kemampuannya, dapat menyelesaikan tuntutan hidup yang normal, dapat bekerja secara produktif, dan dapat berkontribusi positif pada lingkungan.

Begitu seseorang kerap menjadi problem bagi lingkungan/orang terdekat, tidak bisa menggunakan kemampuannya untuk tujuan hidupnya, tidak bisa menyelesaikan masalahnya menurut normalnya, atau tidak produktif dalam menggunakan waktunya, berarti itu tanda-tanda ada gangguan mental.

Sumber paling mendasar dari gangguan mental adalah ketika seseorang terbiasa menggunakan respon yang merusak (destruktif response) terhadap apa yang terjadi di luar dirinya dan di dalam dirnya. Misalnya, selalu menempatkan problem sebagai alasan untuk meledakkan amarah, kekecewaan, kehampaan, dan seterusnya. Ini sangat mempercepat datangnya gangguan mental.

Karena itu, kita diajari untuk berikhtiyar (memilih respon yang baik) dalam menghadapi masalah atau tuntutan. Misalnya, kreatif, belajar skill baru, atau usaha lain. Selain itu, kita juga diajari untuk cepat-cepat memaafkan (mengeluarkan benda yang sangat membebani jiwa) tanpa menunggu orang lain atau dunia ini meminta maaf.

Hati yang cerdas menjadi kunci karena meskipun seseorang sudah tahu bedanya respon yang konstruktif dan respon yang destruktif, tetapi dalam praktiknya belum dijamin pengetahuan itu bekerja. Dibutuhkan kekuatan regulasi diri (self regulation) dan ini kuncinya pada kecerdasan hati.

Semoga bermanfaat . . .

 

Artikel

MOTIVASI KERJA

MOTIVASI KERJA

Hasil riset dan praktik menemukan empat hal ini sering meng-anjlok-an motivasi seseorang dalam pekerjaan atau peranan: 1) kehilangan makna sehingga terasa pekerjaan itu tak berarti lagi, 2) kurang “pede” untuk mensukseskan pekerjaan, 3) terlibat konflik destruktif, dan 4) banyaknya penafsiran pribadi yang menggelapkan hati. “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya. Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya,” (al-Quran, asy-Syams: 8-10).

(Serial Kecerdasan Hati, Ubaydillah Anwar, Heart Intelligece & Soft Skills Specialist)

www.kecerdasanhati.com
www.kecerdasanhati.ic
#MajalahAlbab

Artikel

REFLEKSI AGUSTUS

REFLEKSI AGUSTUS

Ketidakdilan hukum (tumpul ke atas dan tajam ke bawah) oleh penguasa dan kekikirian (masyarakat) adalah dua hal yang diingatkan oleh Rasulullah SAW menjadi penyebab hancurnya umat terdahulu.

“ . . . Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah).
“ . . . Kekikiran mendorong mereka untuk saling menumpahkan darah dan menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh diri mereka sendiri.” (HR Muslim). MERDEKA!

(Serial Kecerdasan Hati, Ubaydillah Anwar, Heart Intelligece & Soft Skills Specialist)

#ubaydillahAnwar
#www.kecerdasanhati.com
#www.kecerdasanhati.id
#majalahAlbab

4 ALASAN PENTING KENAPA ORANG LAIN MEMPERCAYAI ANDA

4 ALASAN PENTING KENAPA ORANG LAIN MEMPERCAYAI ANDA
Riset dan praktik mengungkap bahwa kepercayaan muncul dari seseorang karena 4 faktor inti ini: a) hubungan yang baik selama ini, b) bukti nyata dari komitmen atau janji, c) kapasitas, misalnya orang baik pun akan berbohong apabila menangani urusan melebihi kapasitasnya, dan d) kemampuan komunikasi, misalnya kebohongan sering dipercaya jika disampaikan dengan komunikasi yang bagus.
Menjadi orang yang bisa dipercaya adalah perintah inti iman. Rasulullah SAW bersabda: ”Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang janji.” (HR Ahmad dan Al-Bazzaar).
(Serial Kecerdasan Hati, Ubaydillah Anwar, Heart Intelligece & Soft Skills Specialist)
Home
Profile
Shop
Contact Us