Akademi Soft Skills Indonesia

Artikel

Artikel

CARA JITU MENDEBAT GAGASAN ORANG LAIN DI TEMPAT KERJA

Serial Kecerdasan Hati

CARA JITU MENDEBAT GAGASAN ORANG LAIN  DI TEMPAT KERJA

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

Praktik membuktikan bahwa kesempurnaan sebuah konsep dan praktik sering dihasilkan dari bersatunya keragaman. Ajaran agama menyampaikan: fainnal barokata fil jama’ah (Ada kebaikan yang berlimpah dalam kolaborasi).

Sejumlah hasil riset yang saya baca di Harvard Business Review dan di The Managers’ Toolkit semakin menguatkan. “Cognitive diversity makes a group smarter,” tulisnya. Keragaman membuat kelompok lebih cerdas.

Bahkan ada temuan yang mengungkap, banyak kelompok yang menjadi melempem bukan karena tidak ada konflik, tetapi karena semua ‘adem-ayem’ (passive and indecisive).

Tak bisa dipungkiri bahwa keragaman yang produktif itu dalam prosesnya sering dihasilkan dari debat. Apesnya, debat sendiri tak selalu konstruktif. Malah lebih sering destruktif.

Karena itu, dibutuhkan cara-cara jitu agar dapat membuahkan hasil yang jempolan dalam mendebat gagasan teman kerja.

Darimana dimulai? Sebelum otak dan mulut bekerja, hati perlu ditata lebih dulu. Kita mendebat bukan untuk mengalahkan, menjatuhkan, menjauhkan, atau karena ada interest tersembunyi yang licik.

“Ingat, kita di kapal tim yang sama. Tidak ada yang menang untuk mengalahkan. Tujuan utama kita adalah mencapai tujuan utama tim.” Demikian sahabat saya kerap mengingatkan timnya.

Pada tingkat penerapan skill, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Mampu memberi perspektif yang sehat pada gagasan orang lain. Artinya, selain tahu kelemahannya, juga tahu kelebihannya.
  2. Menyampaikan maksud dengan bahasa yang jelas dan spesifik.
  3. Fokus mendebat gagasan, bukan pada orang, apalagi menyalahkan orangnya. Lalu hadirkan gagasan yang menurut Anda lebih bagus.
  4. Perkuat gagasan dengan fakta, kebijakan perusahaan, opini ahli, hasil riset, atau pengalaman orang lain. Artinya, Anda membuka kemungkinan baru.
  5. Tetap bisa mendengarkan dengan baik.

Terakhir, kerendahan hati (tawadlu) adalah kunci sukses bagi yang mendebat dan yang didebat. Tanpa kerendahan, debat mendebat malah mengacaukan otak dan mulut.

Kerendahan hati mengandung dua unsur.

Pertama, menyadari ketidaksempurnaan secara konstruktif. Hasilnya, mau mendengar, mau memperbaiki, terbuka pada perspektif baru, dan mau belajar terus.

Kedua, menyadari bahaya kesombongan (merendahkan orang lain). Hasilnya, memperlakukan orang dengan baik, tidak mudah menolak orang, dan tidak mudah kehilangan kontrol atas omongan, sikap, dan tindakan orang lain.

Artinya, kerendahan hati menghasilkan kemajuan dan kedekatan. Riset terhadap 1435 pemimpin korporasi yang disebut the great leaders menyimpulkan kerendahan hati menjadi ciri nomor satu (Jim Collin: 1996).

Rasulullah SAW mengajarkan, “Dan tidaklah seseorang bertawadlu’ karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim).

 

 

 

 

 

Artikel

KETIKA TEMPAT KERJA SUDAH SEPERTI NERAKA, APA YANG HARUS DILAKUKAN?

Serial Kecerdasan Hati

 

 

KETIKA TEMPAT KERJA SUDAH SEPERTI NERAKA,

APA YANG HARUS DILAKUKAN?

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

“Dia pindah bukan karena punya masalah dengan pimpinan, Pak . . . Tapi karena clash dengan teman, ” demikian penjelasan seorang senior HRD kepada saya.

Secara internasional, riset Society of Human Resource Management menemukan 1 dari 5 orang meninggalkan pekerjaan karena masalah dengan lingkungan.

Ketika tempat kerja sudah berubah rasanya seperti ‘neraka’, sangat mungkin hal itu menyebabkan orang yang menjadi andalan Anda itu pergi. Bisa jadi ia punya masalah dengan atasannya atau temannya.

Tempat kerja demikian sering disebut toxic workplace (lingkungan yang telah beracun). Cirinya yang paling umum adalah konflik destruktif, hilangnya budaya menghormati dan menyayangi,  kekerasan, dan KKN merajalela.

Orang yang sebagus apapun akan bermasalah jika tempatnya bermasalah. Malah bisa jadi yang jadi jagoan di sana justru orang yang tidak bagus.

Agar lingkungan demikian tidak berlanjut, perlu ada respon yang cepat. Strategi dan langkahnya tentu tak terhitung, tergantung pimpinan menyerap realitas. Hanya saja, ada poin-poin inti yang perlu diperhatikan.

Pertama, peduli dan bukti. Pimpinan tidak bisa hanya mengeluhkan, apalagi membiarkan. Justru harus hadir untuk peduli dan membuktikan dengan aksi dan sistem (bila perlu). “Kekuasaan diturunkan oleh Tuhan agar bisa digunakan untuk melindungi,” pesan Khalifah Ali.

Tempat kerja perlu menyajikan keselamatan dan kebaikan (as-salamualaikum wa rohmatullah). Dengan begitu, akan ada berbagai kebaikan (wabarokatuh).

Bukti akan menghasilkan keyakinan. Seeing is believing. Kinerja orang-orang akan mudah dioptimalkan apabila semua merasa aman dan yakin memang keamanan terjamin.

Kedua, forum terbuka untuk membahas perilaku manusia. Membahas perilaku yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai organisasi akan meningkatkan kemampuan setiap orang untuk menyeleksi perilaku secara alami.

Yang perlu dihindari adalah memahas person (kecuali dengan alasan yang mengharuskan). “Loyalitas pada lembaga adalah yang paling inti di sini,” jelas seorang pengasuh pesantren besar di Jawa Barat kepada saya.

Ketiga, memastikan semua orang berkembang. Jika setiap orang mendapatkan tantangan untuk berkembang dengan tugas dan peranannya, maka secara alami akan kurang tertarik untuk terlibat ke dalam hal-hal negatif.

Apalagi jika mereka sadar bahwa langkahnya akan dinilai dan berdampak ke reward. Potensi mereka untuk menciptakan racun semakin terkikis.

Keempat, pembekalan. Hasil riset Stanford University (2000) menyimpulkan bahwa untuk kinerja jangka panjang, kesuksesan seseorang dalam bertugas dan berperan, 75%-nya ditentukan oleh soft skills (keahlian bermuamalah). Di sinilah pentingnya pembekalan.

Langkah seorang pemimpin akan lebih powerful lagi apabil dilanjutkan dengan membentuk kelompok dalam mengikis racun itu sehingga menjadi ‘bayty jannaty’ (kantorku adalah surgaku).

Al-Quran mengajarkan: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 119).

Artikel

KENAPA “HATIMU ADALAH HAKIKATMU”? APA BUKTI-BUKTINYA?

Serial Kecerdasan Hati

KENAPA “HATIMU ADALAH HAKIKATMU”? APA BUKTI-BUKTINYA?

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence Specialist

“Hatimu adalah hakikatmu,” demikian temuan spiritual (mukasyafah) orang-orang arif. Sebab, hati adalah raja dalam pemerintahan jiwa (al-malik).

Temuan ini juga sinkron dengan hasil riset ilmuwan mutakhir (HeartMath: 1995) yang mengungkap bukti-bukti bahwa hati fisik (jantung) adalah global coordinator (koordinator jiwa dan raga manusia).

Peradaban Barat menyebut hati sebagai tempat singgasana esensi manusia yang disebut ‘being’ sehingga hanya manusia yang punya hatilah yang disebut human being (pada dasarnya).

Terkait dengan bukti-bukti, mari kita mulai dari yang paling besar (makro).

Negara dengan pemerintah di dalamnya dibentuk untuk melindungi yang kecil supaya tidak dicaplok oleh yang besar. Juga untuk memberikan ruang berprestasi kepada orang-orang yang benar dan sungguh-sungguh. Dan juga untuk menghukum orang-orang yang jahat.

Tapi di tangan orang yang hatinya gelap dan keliru, aturan negara dan pemerintah justru dipakai untuk yang sebaliknya. Yang kuat malah semakin membabi buta. Aturan bisa disetir. Orang-orang yang benar dan sungguh-sungguh seringkali malah kalah oleh orang yang jahat. Jadi, hati adalah hakikat manusia.

Pabrik obat dan ilmu kedokteran pun sama. Di tangan hati yang jernih dan lurus, keduanya adalah solusi bagi kemanusiaan. Tapi di tangan hati yang gelap dan keliru, kedunya adalah bencana. Pabrik obat dapat digunakan untuk menciptakan ketergantungan manusia kepada obat, alias supaya sakit terus. Jadi, hati adalah hakikat manusia.

Media sosial pun sama. Di tangan hati yang jernih dan lurus, media adalah perekat sosial. Tapi di tangan hati yang gelap dan keliru, media sosial justru menciptakan keadaan yang anti-sosial. Orang bisa menghina dan meng-olok-olok orang lain semau-maunya.

Semua perintah agama yang pasti benarnya dan pasti baiknya jika dijalankan oleh hati yang keliru dan gelap, akan menimbulkan hasil yang salah dan bermasalah. Jama’ah tapi isinya malah pertengkaran.

Ketika ajaran agama diolah menjadi energi untuk berkreasi dan inovasi, hasilnya adalah karya peradaban yang luar biasa. Tapi jika diolah menjadi muatan nafsu, pelarian, dan anti ilmu, justru hasilnya kerap destruktif (merusak kehidupan).

Ini semua tergantung hati. Jadi, hati bagi manusia adalah hakikatnya.

Semoga bermanfaat.

Artikel

SELAMAT DATANG ZAMAN ANTI-PENSIUN

Serial Kecerdasan Hati

SELAMAT DATANG ZAMAN ANTI-PENSIUN

Ubaydillah Anwar, CSC,. CPT. | Heart Intelligence Specialist

Disrupsi digital mengubah segalanya.

Meski diperkirakan akan ada 400-800 juta pekerjaan yang akan hilang sampai tahun 2030, tetapi ada pekerjaan baru yang jauh lebih banyak. Sekitar 900 juta pekerjaan baru akan hadir di seluruh dunia. Itu prediksi riset McKinsey 2019 yang dipublikasikan beberapa media.

Hari ini, dengan berlimpahnya fasilitas teknologi, semua orang dimanapun ia hidup, selama dapat terhubung dengan internet, ia memiliki kesempatan untuk mendapatkan sustainable career (karier yang anti-pensiun).

Semua orang difasilitasi oleh internet untuk menyajikan layanannya kepada masyarakat. Layanan itulah yang menjadi kunci karier dan bisnis. Layanan akan menciptakan pelangga n dan pelanggan adalah tujuan bisnis. “Tujuan dari semua bisnis adalah pelanggan,” pesan al-marhum Prof. Peter Drucker,

Rumah akan menjadi pusat kegiatan bisnis dan belajar. Selain juga tempat tinggal. “Jika Anda tidak menemukan layanan apa yang bisa Anda berikan kepada khalayak, Anda selesai,” pesan para pakar pengembangan karier. Inilah era layanan. Dari rumahnya seseorang bisa menawarkan layanan pijat, training memasak, konsultasi perpajakan, sampai ceramah agama.

Tentu untuk mendapatkan rahmat dan berkah sustainable career tersebut tidak gratis. Meminjam istilah Bank Dunia, dibutuhkan reskilling (belajar lagi skill baru) dan upskilling (meningkatkan keahlian).

PERSIAPAN MENUJU ‘SUSTAINABLE CAREER’

Langkah paling awal sebelum berbicara sustainable career adalah menggeser paradigma hidup. Dari yang semula sebagai penganut paham ‘job security’ harus digeser ke penganut paham ‘career security’.

Paham ‘job security’ berarti orang tersebut berpikiran dan berkeyakinan bahwa nasib kariernya ditentukan oleh pekerjaan di kantor, oleh kekuatan di luar dirinya, oleh perusahaan, dan seterusnya. Ia menempatkan diri sebagai objek atau bahkan victim.

Penganut pahami ini menolak untuk mempelajari skill baru sesuai keunggulannya. Ia hanya mempelajari atau mengarjakan apa yang disuruh oleh rutinitas di tempat kerja.

Sebaliknya, penganut paham ‘career security’ mengandalkan nasib kariernya pada penguasaan skill, pada network yang dibinanya, para usaha yang dilakukannya, dan pada Tuhan yang disembahnya. Inilah yang disebut praktik tawakal: hati bergantung kepada Penguasa jagat, tapi otak dan seluruh anggota badan bergerak menuju tujuan.

Penganut pahami ini, seperti kata Henry Ford, industriawan America, selalu hidup. “Businesses that grow by development and improvement do not die.”

Artinya, dibutuhkan keberanian untuk menyingkirkan hijab/tabir hati yang selama ini takut melompati comfort zone, menaruh harapan pada orang dan kenyatan secara berlebihan, dan selalu terhalang oleh “tapi” yang muncul dari dalam.

Hasil riset yang saya baca di Harvard Business Review (Juli/29/2016) menyadarkan saya. Riset mengungkap: “Jika Anda tidak pernah keluar dari ‘comfort zone’ (kenyamanan rutinitas, Anda tidak pernah serius mempelajari sesuatu.”

Semoga bermanfaat.

Artikel

5 KONDISI YANG MEMBUAT CAHAYA HATI PARA PEJABAT MATI

Serial Kecerdasan Hati

5 KONDISI YANG MEMBUAT CAHAYA HATI PARA PEJABAT MATI 

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

Hampir semua WAG yang saya ikuti di tiga pekan ini ramai mengomentari dua berita.

Pertama, soal penembakan polisi oleh polisi di rumah dinas polisi dan yang mati justru CCTV.

Kedua, dan ini baru terjadi sekali seumur Indonesia, tertangkapnya rektor bersama pejabat penting di kampus itu oleh KPK. Hampir pasti soal korupsi.

Pembahasannya secara politik, hukum, aturan dan sampai komentar kelas warung kopi sudah ‘overload’. Sekarang, bagaimana pembahasannya secara kecerdasan hati? Jika hati sebagai raja atau the ruling organ (amir), lalu hati yang bagaimana yang dapat menggelapkan pikiran dan tindakan?

Ada lima kondisi yang dapat mematikan cahaya hati. Ini penting bagi pejabat. Kenapa? “Sabar pada saat hidup sedang berlimpah kemudahan dan kekuasaan justru lebih sulit,” pesan orang bijak.

Pertama, amarah hati yang telah menguasai diri. “Amarah menghilangkan akal sehat,” pesan Rasulullah SAW seperti dikutip Syaikh Nawawi Al-Bantany. Riset mengungkap, 90% tindakan destruktif yang tak terkendali berawal dari amarah (PsychologyToday).

Kedua, hasad (iri-dengki). Status sebagai putra Nabi Adam AS tidak menghentikan Qabil dari kejahatan karena telah dikuasai iri, dengki, dan amarah. Ia membunuh Habil. Artinya, cahaya hati tidak sanggup menyinari pikiran dan tindakannya karena terhalang (mahjub) oleh iri-dengki.

Ketiga, rakus. Negeri + 62 ini menjadi contoh yang sangat nyata. Sudah banyak orang yang bergelimang harta tapi ditangkap KPK. Rakus muncul ketika prinsip hidup tidak sampai menancap di dada. “Siapa yang melihat ke dalam akan sadar dan siapa yang terus melihat ke luar akan melayang,” pesan orang bijak.

Keempat, melemahkan diri (dzalim atas diri sendiri). “Saya sebetulnya ingin menjadi pejabat yang baik, tapi godaan iblis terlalu memaksa. Jadinya, iblislah yang harus bertanggung jawab, ” gumam pejabat itu. Iblis yang mendengar langsung protes. “Saya menggoda Anda untuk korupsi hanya satu juta, tapi Anda malah mengkorupsi 100 miliar!” protes Iblis.

Melemahkan diri menghasilkan sikap permisif terhadap kebobrokan dan tidak ideologis dalam merespon kenyataan. Padahal, untuk menghadapi godaan dan tekanan dibutuhkan perlawanan dari dalam (mujahadah). Hal ini pasti tidak dimiliki oleh orang yang melemahkan dirinya.

Kelima, mendewakan logikanya sendiri dalam mengarungi hidup ini sehingga cahaya ilahi di hati tersingkirkan (mahjuro). Ketika Qarun diminta zakat oleh Nabi Musa, Qorun menolak dengan alasan yang sangat “logis”.

Dia berpikir bahwa dirinya menjadi investor dan pebisnis yang hebat itu karena kompetensinya sendiri dan tidak ada kontribusi Tuhan sedikit pun. Gelaplah hati, pikiran, dan tindakan Qarun.

Semoga bermanfat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel

MEMBEDAH HATI ROHANI-HATI JASMANI, DAN MANA YANG LEBIH MENENTUKAN: OTAK ATAU HATI?

Serial Kecerdasan Hati

MEMBEDAH HATI ROHANI-HATI JASMANI, DAN

MANA YANG LEBIH MENENTUKAN: OTAK ATAU HATI?

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist | www.kecerdasanhati.com

Dalam berbagai kesempatan, kerap saya ditanya mana yang sebenarnya disebut hati itu. Tentu semua orang berdasarkan latar belakang masing-masing dapat menyajikan penjelasan yang berbeda-beda.

Apalagi jika dikaitkan dengan organ lain yang sangat inti bagi manusia, yaitu otak. MIsalnya ketika ditanya, manakah yang menentukan langkah manusia: hatikah atau otakkah?

Jujur, saya sendiri tidak memiliki pengetahuan faktual mengenai hal itu. Saya belum pernah melihat bagaimana jantung dibedah atau hati liver dibedah dan diteliti bagaimana cara kerjanya. Lebih-lebih soal otak.

Tapi berdasarkan keterangan: a) kitab suci (al-Quran), b) ajaran para nabi, c) spiritual discovery oleh orang-orang arif melalui kitab-kitabnya, d) riset ilmiah para ilmuwan mutakhir, dan e) praktik manusia melalui artifak yang ada, dapat saya jelaskan sebagi berikut.

Pertama, baik dalam bahasa Inggris (heart) atau dalam bahasa Arab (qolbun atau qulubun atau kalbu), keduanya merujuk pada  jantung, benda di bagian kiri dada manusia. Meski demikian,  heart sendiri diterjemahkan dengan hati dan begitu juga qolbun atau qulubun yang diterjemahkan juga dengan hati/kalbu.

Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa khusus orang Indonesia, hati itu bisa berarti tiga, yaitu:  a) jantung, b) hati rohani, dan c) hati liver. Bagiamana itu bisa terjadi memang belum disepakati asal-asulnya.

Kedua, berbicara soal hati dalam kajian ilmu pengetahuan, spiritualitas, agama, dan praktik hidup, hati punya dua jenis, yaitu hati fisik (jantung) dan hati rohani (qalbu). Hati rohani bersemayam di hati fisik yang tidak kelihatan tetapi semua praktik menusia telah diberi pemahaman bahwa di dalam dirinya ada hati yang tidak kelihatan, yang itu bukan jantung, tetapi hati rohani.

Riset para ahli di Heartmarth Institute (1995) terhadap jantung (hati fisik) menyimpulkan bahwa hati adalah organ utama penentu kinerja otak (global coordinator), penjaga keseimbangan body and mind, sumber perasaan, emosi, kesadaran, bahkan intuisi.

Dalam jantung, menurut riset mereka, terdapat benda kecil yang disbeut heart brain (otak hati) yang bekerja secara mandiri: melakukan learning, memorizing, sensing, dan seterusnya. Riset mengungkap bahwa hatilah yang paling sering berkomunikasi ke otak, bukan sebaliknya.

Kemampuan hati (jantung) meradiasi gelombang elektromagnetik dan enegi jauh lebih kuat ketimbang otak. Mereka menemukan bahwa ketika da orang yang sedang marah di satu tempat, amarah dari hati itu mempengaruhi orang lain dalam radius sekian meter.

Hampir semua penjelasan riset di atas boleh dikatakan tidak bertentangan dengan spiritual discovery orang-orang arif yang tela menjelaskan hati (qulub) di buku-buku klasiknya sekitar di atas 1000 tahun lalu.  Ini bisa dibaca di karya Ali bin Abu Thalib (Khalifak ke-IV), Al-GHazali, atau Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah.

Semua menyimpulkan bahwa hatilah yang menentukan hakikat manusia. Hatilah raja dalam pemerintahan jiwa. Hatilah yang menentu kerja seluruh anggota tubuh (jasmani dan rohani). Bedanya, orang-orang arif menjadikan hati rohani sebagai objek bahasannya, sementara para ilmuwan barat menjadikan jantung sebagai objek risetnya.

Nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi lain juga sudah berbicara mengenai hati. Nabi Muhammad pernah berbicara mengenai hati fisik (jantung atau segumpal daging/darah) yang menyebut sebagai penentu kesehatan manusia.

Nabi Muhammad juga menjelaskan bahwa yang menentukan kualitas amal manusia di mata Tuhan itu bukan jenis amalnya, tetapi kualitas hatinya (hati rohani, mislanya ikhlas atau tidak ikhlas, dst).

Nabi Musa diceritakan ketika hendak menghadap Fir’aun meminta kepada Tuhan agar diberikan kelapangan dadanya (hati). Dan masih banyak keterangan soal hati dari para nabi.

Dalam hitungan saya, al-Quran menyebut kata hati dalam 4 kata di sekitar 230 tempat,  yaitu dada/hati fisik (shudurun), qolbun (hati rohani), fuad (hati kecil, biasanya begitu diterjemahkan), dan albab (hati yang paling dalam/.wisdom).

Semua penjelasan hati dalam al-Quran mengarah pada hati rohani, yang menjadi penentu hakikat manusia, penentu kinerja otak, tempat dimana cahaya Tuhan dan kegelapan iblis bersemayaman.

Semua peradaban manusia sepertinya telah memahami dua makhluk hati ini melalui artefak bahasa. Katakanlah ada yang berpesan cintailah pekerjaanmu dengan segenap hatimu. Kita semua tahu pasti bukan dengan jantung (hati fisik) tetapi hati rohani. Sakit hati yang secara reflek memegang dada. Pasti bukan jantungnya (hati fisik) tapi hati rohani.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel

MASIHKAH DUNIA PENDIDIKAN BERPIKIR AKAN MENYIAPKAN PEKERJA?

Serial Kecerdasan Hati

 

MASIHKAH DUNIA PENDIDIKAN BERPIKIR AKAN MENYIAPKAN PEKERJA?

 

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

 

Hubungan kecocokan supply-demand antara dunai pendidikan (tingkat atas dan tinggi) dan dunia kerja terbukti lemah. Riset dan fakta membuktikan itu. Sebagai respon, maka pada 1990-an, lahirlah konsep CBHRM (Competency-Based Human Resource Management).

 

Konsep ini setengah tidak percaya dengan nilai akademik. Sekolah barulah dianggap dapat menghantarkan seseorang memiliki kualifikasi, belum kompetensi. Padahal, kebutuhan dunia kerja adalah kompetensi.

 

Kompetensi berarti kemampuan menerapkan sekian keahlian (skills) yang dibutuhkan oleh peranan, pekerjaan atau profesi yang dampaknya langsung pada hasil (kinerja).

 

Sebagai contoh, seseorang yang jago komputer di ruang kelas, belum tentu kompeten di pekerjaan professional. Kenapa? Jika dia tidak bisa bekerja sama dengan orang lain, mindsetnya negatif, tidak mau belajar lagi, apalagi suka bohong, maka kinerjanya lama-lama rendah.

 

Hampir semua lulusan pesantren bisa bicara di podium, sebab itu bagian dari kegiatan wajib. Tapi untuk menjadi speaker handal, seperti UAS atau almarhum Zainuddin MZ, nanti dulu. Menjadi speaker tidak cukup hanya dengan skill. Ia membutuhkan kompetensi.

 

Ketika tatanan zaman diobrak-abrik oleh disrupsi teknologi dan pandemi, maka kecocokan supply-demand itu semakin tidak jelas lagi. Bahkan sudah mulai muncul fenomena ledakan non-gelar untuk bidang-bidang tertentu. Artinya, posisi kualifikasi semakin didesak minggir oleh kompetensi.

 

Ini belum lagi bicara soal pengambilalihan mesin (artificial intelligence) terhadap pekerjaan manusia. Jargonnya, satu mesin bisa menangani 50 pekerjaan manusia yang sifatnya rutin dan tersistem.

 

Karena itu, riset Bank Dunia menyimpulkan bahwa untuk Indonesia, di atas 57% semua pekerja (professional) perlu reskilling (dinaikkan skilnya) dan upskilling (ditambah lagi). Apalagi lulusan baru?

 

Kembali ke pertanyaan di atas, jadi bagaimana? Para pemikir dunia bersuara, dunia pendidikan diminta lebih fokus menyiapkan orang-orangnya dengan berbagai skill yang tidak bisa diganti oleh mesin dan responsif terhadap perubahan zaman.  Syukur-syukur bisa membekali kompetensi sekaligus.

 

Berbagai skill tersebut mengerucut pada tiga klaster utama, yaitu: a) self leadership, b) collaboration, dan c) leading people. Artinya, jurusan apapun, perlu mendapatkan bekal tersebut.

 

Dengan kata lain, dunia pendidikan semakin tidak bisa lagi mengoptimalkan pembekalan pada hand (keterampilan) dan head (pengatahuan kognitif), tetapi juga harus heart (heart).

 

Bahkan menurut riset mutakhir yang menyebut temuannya sebagai “new science” (HeartMarth Institute) justru heart-lah yang mestinya mendapatkan perhatian besar. Sebab, kinerja otak, skill sosial,  dan koordinasi jasmani-rohani manusia ditentukan oleh heart.

 

Riset ini mengukuhkan eksplorasi spiritual ulama tasawuf seribu tahun sebelumnya bahwa hati adalah raja dalam pemerintahan jiwa (malik). Hand dan head adalah pasukan dan pelayan hati.

Artikel

5 KOMPETENSI UTAMA SEORANG PEMIMPIN HARI INI

Serial Kecerdasan Hati

5 KOMPETENSI UTAMA SEORANG PEMIMPIN HARI INI

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT | Heart Intelligence Specialist

Perubahan besar tengah terjadi di dunia hari ini. Dibutuhkan kualitas pemimpin yang kuat ke dalam dan hebat ke luar. Apa saja kompetensi utama yang perlu dimiliki, terutama pemimpin dunia usaha?

Study terhadap 195 pemimpin di 38 korporasi global, menyimpulkan ada 5 kompetensi utama yang paling dibutuhkan dari seorang pemimpin (The Most Important Leadership Competencies, According to Leaders Around the World, Harvard Business Review: March 15, 2016).

Kelimanya adalah: a) kemampuan menerapkan standar etika yang tinggi dan jaminan rasa aman di organisasi, b) memberdayakan anak buah supaya menjadi orang yang mandiri, c) kemampuan menyadarkan hubungan yang berarti pada pegawai dan rasa memiliki, d) terbuka terhadap ide dan eksperimentasi, dan e) komitmen pada kemajuan intelektual dan profesional pegawai.

Artinya, kecerdasan hati memainkan peranan sentral bagi seorang pemimpin.

Seorang pemimpin perlu menggali ke dalam hati apa prinisp kebenaran yang benar-benar meng-guide keputusan dan tindakannya. Prinsip inilah yang menjadi mata air penerapan etika dengan standar yang tinggi (integritas).

Integritas adalah modal inti kepercayaan. Dalam hubungan profesional, dipercaya itu maqomnya lebih tinggi daripada disukai. Sebab, hanya orang yang percaya pada Anda yang mau berurusan dengan Anda.

Kasih sayang dari hati juga sangat penting. Tanpa kasih sayang, kecenderungan seorang pemimpin adalah mengeksploitasi. Kasih sayanglah yang akan menggerakkan pemimpin untuk berkomitmen pada pemberdayaan dan kemajuan pegawai, baik intelektual dan professional.

Pemimpin dengan kasih sayang yang tinggi tidak sama dengan pemimpin yang enak (nice leader). Mereka bisa jadi mendidik dengan disiplin yang tegas dan standar yang tinggi. Dan itu rasanya tidak enak, plus prosesnya juga tidak mudah.

Kasih sayang juga yang menjadi modal bagi pemimpin untuk bisa membangun hubungan yang yang berarti di lingkungannya. Bukan sebatas hubungan yang berkomunikasi (communicating), tetapi hubungan yang saling memiliki ikatan hati (connecting).

Nabi Muhammad SAW pernah diajari oleh Allah SWT terkait posisi kasih sayang dalam hubungan kepemimpinan. “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. “ (QS. Ali Imran: 159).

Artinya, kasih sayang merupakan syarat untuk membangun tim, pengikut, dan penolong dalam organisasi. Kasih sayang (compassion) adalah kualitas yang dihasilkan dari peduli dan aksi.

Kesediaan hati pemimpin untuk diajar (membuka dada) oleh problem dan perubahan juga menjadi kunci respon yang konstruktif. Dada yang terbuka akan menghantarkannya menjadi sosok yang bijak, pembelajar yang lincah, dan inovatif. Pemimpin yang membatu hatinya (qosiyatul qulub), melihat perubahan dan problem sebagai kegelapan.

Artikel

EMPAT SUMBER KONFLIK YANG PALING DOMINAN DALAM TIM, KENALI DARI AWAL!

Serial Kecerdasan Hati

 

EMPAT SUMBER KONFLIK YANG PALING DOMINAN

DALAM TIM, KENALI DARI AWAL!

 

 

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

 

Konflik adalah keniscayaan dalam tim. Tapi itu tidak masalah. Sebab, konflik itu ada yang mendinamiskan dan ada yang menghancurkan.

 

Secara umum, konflik akan menghancurkan apabila tidak dikelola dengan baik. Karena itu, memahami sumber konflik sejak dini menjadi penting.

 

Survei terhadap 1000 manajer di 76 perusahaan internasional di dunia mengungkap fakta baru. Ada empat sumber konfliK yang paling dominan (91%).

 

Yaitu: masalah komunikasi (39%), kejelasan standar kinerja (14%), masalah waktu pekerjaan (16%), dan masalah ekspektasi ke orang lain (22%). Demikian tulis Harvard Business Review, Mei/31/22.

 

Masalah komunikasi menyangkut cara berkomunikasi, jalur komunikasi (aturan) dalam tim, dan kanal komunikasi (wa, sms, atau telpon).

 

Para nabi mempraktikkan 6 cara berkomunikasi yang apabila dipraktikkan oleh kita dengan tepat, akan menghindarkan tim dari konflik yang merusak. Tepat dalam arti kapan, kepada siapa, dan tentang apa.

 

Keenam cara itu adalah: komunikasi yang materinya benar, komunikasi yang caranya baik, komunikasi yang materi dan caranya tidak lebai alias mudah diterima, komunikasi yang memuliakan, komunikasi yang efektif, dan komunikasi yang soft (tidak kasar).

 

Orang yang diajak berkomunikasi pun perlu memberi respon dengan baik. Setidak-tidaknya seimbang. Jangan sampai terkesan minimalis. “Saya kirim wa ke dia panjang lebar, tapi jawabnya hanya iya dan ok. Orang seperti ini maunya apa, Pak?” papar peserta training ke saya.

 

Terkait standar kinerja dan waktu, agar tidak menyulut konflik, standar tersebut perlu dibuat se-SMART mungkin. Dalam arti Specific (jelas), Measurable (dapat diukur), Attainable (dapat dicapai), Relevant (sesuai), dan Time (jelas waktunya).

 

Jangan sampai hasil kerja seseorang ditolak atau disalahkan, tetapi standarnya tidak jelas. Ketidakjelasan menimbulkan kesalahpahaman dan konflk. Standar dapat dibuat secara refleksional (terkonsep) maupun reaksional (langsung diarahkan).

 

Agar konflik tidak muncul dari perbedaan harapan, maka setiap orang dalam tim perlu dibuatkan aturan mengenai tugas dan peranan yang jelas. Ada yang wajib, sunnah (lebih utama jika dikerjakan), haram (terlarang), makruh (lebih baik dihindari), dan mubah (bebas).

 

Tentu, tidak mungkin mewadahi seluruh perilaku manusia ke dalam sebuah format aturan. Karena itu, urusan hati menjadi penting. Hati yang dipenuhi peduli dan kasih sayang akan membentuk tim seperti bola (mudah digerakkan) dan seperti bangunan (saling menguatkan).

 

Masalahnya adalah kondisi hati manusia mudah berubah dan bahkan bisa turun kecerdasannya ke titik terendah. Karena itu, saling mengingatkan, ikatan hati, dan pembekalan skill menjadi penting.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel

AWAS, SATU ORANG BERMASALAH MEMPENGARUHI BANYAK ORANG DALAM ORGANISASI!

 

Serial Kecerdasan Hati

AWAS, SATU ORANG BERMASALAH

MEMPENGARUHI BANYAK ORANG DALAM ORGANISASI!

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence Specialist

Riset Harvard Business Review (HBR) tahun 2018 menemukan fakta  bahwa 37% penasihat finansial akan cenderung melakukan pelanggaran jika mereka bertemu dengan orang baru yang telah punya riwayat pernah melanggar.

Kecenderungan meningkat dua kali lipat jika orang baru itu berhasil membangun kedekatan dan berbagi pengalaman. Pada setiap tindak pelanggaran, menurut riset tersebut, akan berdampak pada 0.59 kasus pelanggaran melalui mekanisme penularan.

Temuan di atas klop dengan filsafat hidup yang diajarkan kepada saya di pesantren dulu. “Akhlak buruk itu menular, su’ul khulqi yu’di,” demikian pesannya.

Pelanggaran bisa dalam bentuk antara lain: suka absen tanpa alasan, sering salah menempatkan diri sehingga banyak konflik, anti empati dalam ucapan dan tindakan, berontak di belakang, tidak jelas komitmen pada kinerja, atau korupsi layanan pada pelanggan.

Perilaku baik pun menular. Riset HeartMath Institute (2015) menemukan fakta bahwa ruang hati seseorang yang dipenuhi apresiasi, cinta, peduli, dan kasih sayang meradiasikan energi positif kepada orang-orang sekitar.

Tentu ada perbedaan bagaimana perilaku baik dan perilaku buruk menular. Perilaku baik menular seringkali tidak langsung ke aksi nyata, melainkan ke perilaku batin (heart atau mind) lebih dulu. Inilah yang disebut terminal hati.

Untuk mengubahnya menjadi perilaku nyata dan performa kerja dibutuhkan sentuhan lagi. Misalnya, dibuat aturan, pelatihan, penyadaran, atau program perbaikan kinerja. Sedangkan untuk perilaku buruk, menularnya capat, mudah, dan energinya besar.

Agar perilaku buruk tidak mewabah dalam organisasi, dibutuhkan ketanggapan. Organisasi dapat menerapkan formula 3D: Detection, Dissemination, dan Defeat sebagai respon.

Detection berarti cepat mengetahui. Kecepatan deteksi tergantung pada sekuat apa koneksi hati seorang pemimpin dengan lokasi, peranan, dan orang-orang. Koneksi hati akan mengaktifkan intuisi dan juga informasi dari luar. Bukti koneksi hati adalah pemahaman atas masalah.

Dissemination berarti menyebarkan pengetahuan mengenai desain organisasi. Mulai dari visi, misi, nilai-nilai, perilaku yang diharapkan dan yang ditolak. Penyebaran perlu dilakukan melalui berbagai kanal, media, dan cara.

Defeat berarti mengalahkan perilaku buruk dengan perilaku baik. Jumlah orang yang berperilaku baik perlu ditingkatkan agar dapat mengontrol energi dari perilaku buruk. Mengalahkan bukan berarti menghilangkan melainkan mengontrol, sama seperti sumber penyakit dalam tubuh.

Tentu ada wilayah di luar kontrol, seperti juga organ kita. Terhadap sumber keburukan yang di luar kontrol manajemen, agama memberikan solusi dengan memperbanyak ibadah/kebaikan sosial. Inilah mekanisme spiritual untuk mengundang pertolongan Tuhan. “Sedekah itu dapat menutup 70 pintu keburukan,” pesan Nabi Muhammad SAW dari Imam Thabrani.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Home
Profile
Shop
Contact Us