Akademi Soft Skills Indonesia

Artikel

Artikel

MEMBEDAKAN HATI, HATI ROHANI, DAN HATI LIVER MANA YANG LEBIH MENENTUKAN: OTAK ATAU HATI?

Serial Kecerdasan Hati

MEMBEDAKAN HATI, HATI ROHANI, DAN HATI LIVER
MANA YANG LEBIH MENENTUKAN: OTAK ATAU HATI?

Dalam berbagai kesempatan, kerap saya ditanya mana yang sebenarnya disebut hati itu. Tentu semua orang berdasarkan latar belakang masing-masing dapat menyajikan penjelasan yang berbeda-beda.

Apalagi jika dikaitkan dengan organ lain yang sangat inti bagi manusia, yaitu otak. MIsalnya ketika ditanya, manakah yang menentukan langkah manusia: hatikah atau otakkah?

Jujur, saya sendiri tidak memiliki pengetahuan faktual mengenai hal itu. Saya belum pernah melihat bagaimana jantung dibedah atau hati liver dibedah dan diteliti bagaimana cara kerjanya. Lebih-lebih soal otak.

Tapi berdasarkan keterangan a) kitab suci (al-Quran), b) ajaran para nabi, c) spiritual discovery oleh orang-orang arif melalui kitab-kitabnya, d) riset ilmiah para ilmuwan mutakhir, dan e) praktik manusia melalui artifak yang ada, dapat saya jelaskan sebagi berikut.

Pertama, baik dalam bahasa Inggris (heart) atau dalam bahasa Arab (qolbun atau qulubun atau kalbu), artinya adalah jantung di bagian kiri dada manusia. Meski demikian, heart sendiri diterjemahkan dengan hati dan begitu juga qolbun atau qulubun yang diterjemahkan juga dengan hati/kalbu.

Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa khusus orang Indonesia, hati itu bisa berarti tiga, yaitu: a) jantung, b) hati rohani, dan c) hati liver. Bagiamana itu bisa terjadi memang belum disepakati asal-asulnya.

Kedua, berbicara soal hati dalam kajian ilmu pengetahuan, spiritualitas, agama, dan praktik hidup, hati punya dua jenis, yaitu hati fisik (jantung) dan hati rohani (qalbu). Hati rohani bersemayam di hati fisik yang tidak kelihatan tetapi semua praktik menusia telah diberi pemahaman bahwa di dalam dirinya ada hati yang tidak kelihatan, yang itu bukan jantung, tetapi hati rohani.

Riset para ahli di Heartmarth Institute terhadap jantung (hati fisik) menyimpulkan bahwa hati adalah organ utama penentu kinerja otak (global coordinator), penjaga keseimbangan body and mind, sumber perasaan, emosi, kesadaran, bahkan intuisi.

Dalam jantung, menurut riset mereka, terdapat benda kecil yang disbeut heart brain (otak hati) yang bekerja secara mandiri: melakukan learning, memorizing, sensing, dan seterusnya. Riset mengungkap bahwa hatilah yang paling sering berkomunikasi ke otak, bukan sebaliknya.

Kemampuan hati (jantung) meradiasi gelombang elektromagnetik dan enegi jauh lebih kuat ketimbang otak. Mereka menemukan bahwa ketika da orang yang sedang marah di satu tempat, amarah dari hati itu mempengaruhi orang lain dalam radius sekian meter.

Hampir semua penjelasan riset di atas boleh dikatakan tidak bertentangan dengan spiritual discovery orang-orang arif yang tela menjelaskan hati (qulub) di buku-buku klasiknya sekitar di atas 1000 tahun lalu. Ini bisa dibaca di karya Ali bin Abu Thalib (Khalifak ke-IV), Al-GHazali, atau Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah.

Semua menyimpulkan bahwa hatilah yang menentukan hakikat manusia. Hatilah raja dalam pemerintahan jiwa. Hatilah yang menentu kerja seluruh anggota tubuh (jasmani dan rohani). Bedanya, orang-orang arif menjadikan hati rohani sebagai objek bahasannya, sementara para ilmuwan barat menjadikan jantung sebagai objek risetnya.

Nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi lain juga sudah berbicara mengenai hati. Nabi Muhammad pernah berbicara mengenai hati fisik (jantung atau segumpal daging/darah) yang menyebut sebagai penentu kesehatan manusia.

Nabi Muhammad juga menjelaskan bahwa yang menentukan kualitas amal manusia di mata Tuhan itu bukan jenis amalnya, tetapi kualitas hatinya (hati rohani, mislanya ikhlas atau tidak ikhlas, dst).

Nabi Musa diceritakan ketika hendak menghadap Fir’aun meminta kepada Tuhan agar diberikan kelapangan dadanya (hati). Dan masih banyak keterangan soal hati dari para nabi.

Dalam hitungan saya, al-Quran menyebut kata hati dalam 4 kata di sekitar 230 tempat, yaitu dada/hati fisik (shudurun), qolbun (hati rohani), fuad (hati kecil, biasanya begitu diterjemahkan), dan albab (hati yang paling dalam/.wisdom).

Semua penjelasan hati dalam al-Quran mengarah pada hati rohani, yang menjadi penentu hakikat manusia, penentu kinerja otak, tempat dimana cahaya Tuhan dan kegelapan iblis bersemayaman.

Semua peradaban manusia sepertinya telah memahami dua makhluk hati ini melalui artefak bahasa, katakanlah ada yang berpesan cintailah pekerjaanmu dengan segenap hatimu. Kita semua tahu pasti bukan dengan jantung (hati fisik) tetapi hati rohani. Sakit hati yang secara reflek memegang dada. Pasti bukan jantungnya (hati fisik) tapi hati rohani.

Demikian mudah-mudahan bisa menambah penjelasan yang ada. Terima kasih.

Ubaydillah Anwar
Heart Intelligence Specialist

Artikel

Serial Kecerdasan Hati – KENAPA “HATIMU ADALAH HAKIKATMU”? APA BUKTI-BUKTINYA?

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence Specialist

“Hatimu adalah hakikatmu,” demikian temuan spiritual (mukasyafah) orang-orang arif. Sebab, hati adalah raja dalam pemerintahan jiwa (al-malik).

Temuan ini juga sinkron dengan hasil riset ilmuwan mutakhir (HeartMath: 1995) yang mengungkap bukti-bukti bahwa hati fisik (jantung) adalah global coordinator (koordinator jiwa dan raga manusia).

Peradaban Barat menyebut hati sebagai tempat singgasana esensi manusia yang disebut ‘being’ sehingga hanya manusia yang punya hatilah yang disebut human being (pada dasarnya).

Terkait dengan bukti-bukti, mari kita mulai dari yang paling besar (makro).

Negara dengan pemerintah di dalamnya dibentuk untuk melindungi yang kecil supaya tidak dicaplok oleh yang besar. Juga untuk memberikan ruang berprestasi kepada orang-orang yang benar dan sungguh-sungguh. Dan juga untuk menghukum orang-orang yang jahat.

Tapi di tangan orang yang hatinya gelap dan keliru, aturan negara dan pemerintah justru dipakai untuk yang sebaliknya. Yang kuat malah semakin membabi buta. Aturan bisa disetir. Orang-orang yang benar dan sungguh-sungguh seringkali malah kalah oleh orang yang jahat. Jadi, hati adalah hakikat manusia.

Pabrik obat dan ilmu kedokteran pun sama. Di tangan hati yang jernih dan lurus, keduanya adalah solusi bagi kemanusiaan. Tapi di tangan hati yang gelap dan keliru, kedunya adalah bencana. Pabrik obat dapat digunakan untuk menciptakan ketergantungan manusia kepada obat, alias supaya sakit terus. Jadi, hati adalah hakikat manusia.

Media sosial pun sama. Di tangan hati yang jernih dan lurus, media adalah perekat sosial. Tapi di tangan hati yang gelap dan keliru, media sosial justru menciptakan keadaan yang anti-sosial. Orang bisa menghina dan meng-olok-olok orang lain semau-maunya.

Semua perintah agama yang pasti benarnya dan pasti baiknya jika dijalankan oleh hati yang keliru dan gelap, akan menimbulkan hasil yang salah dan bermasalah. Jama’ah tapi isinya malah pertengkaran.

Ketika ajaran agama diolah menjadi energi untuk berkreasi dan inovasi, hasilnya adalah karya peradaban yang luar biasa. Tapi jika diolah menjadi muatan nafsu, pelarian, dan anti ilmu, justru hasilnya kerap destruktif (merusak kehidupan).

Ini semua tergantung hati. Jadi, hati bagi manusia adalah hakikatnya.

Semoga bermanfaat.

Artikel

MENUNDUKKAN NAFSU WORKAHOLIC DENGAN KECERDASAN HATI

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT.
Heart Intelligence Specialist

Ketika saya memulai kerja dulu, antara tahun 1995-2000, saya dipertemukan dengan pimpinan yang top. Pagi jam 7.00 sudah di kantor untuk belajar bahasa Inggris dengan kawan saya. Pak bos ingin melakukan ekspansi usaha di Eropa dan Amerika.

Malam hari, meski tidak rutin, ada seorang guru privat agama yang didatangkan. Siangnya di jam kerja, waktunya total digunakan untuk mengurusi orang-orangnya, usahanya, dan mitranya di Timur Tengah.

Banyak pegawai yang mengkhawatirkan bahwa bosnya telah mengalami keranjingan kerja (workaholic). Tapi setelah saya baca di beberapa literur, ternyata tidak semudah itu untuk disebut keranjingan. Kesimpulan tidak bisa diambil dari kenyataan.

Ada perbedaan antara keranjingan kerja dan kerja keras (work engagement). Membedakannya lebih sulit lagi sekarang. Sebab, hampir semua orang dapat bekerja kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja. Kemajuan teknologi komunikasi telah mengacauan tatanan kerja.

Ciri-ciri Keranjingan Kerja

  • Secara mendasar, keranjingan kerja mengandung unsur compulsive dan addictive. Artinya, ada tekanan, paksaan, dan sensasi rasa ”asyik” untuk terus bekerja/beraktivitas. Sejumlah riset menyimpulkan bahwa orang yang terkena keranjingan kerja memiliki ciri-ciri berikut:
  • Mengabaikan hal-hal lain yang penting dalam hidup manusia secara umum. Misalnya kesehatan, penampilan, atau keluarga. Mereka kehilangan kesadaran untuk menciptakan keseimbangan.
  • Tidak mampu mendelegasikan urusan kerja kepada orang lain pada porsi dan keharusan tertentu atau tidak pernah mempercayai orang lain.
  • Mereka hanya asyik dengan pekerjaan, tetapi tidak jelas apa yang ingin diraih dengan pekerjaannya itu. Thomas Edison berpesan, ”Jangan hanya sibuk di pekerjaan. Bertanyalah apa tujuan Anda.”
  • Yang menjadi top priority di kepalanya dimanapun berada adalah urusan pekerjaan, termasuk di kamar.
  • Tidak memiliki ketertarikan di bidang lain yang dibutuhkan oleh hidupnya, seperti membaca, hiburan, atau kegiatan pengembangan yang lain.

Banyak pemicu eksternal dan internal kenapa keranjingan hadir. Pekerjaan atau aktivitas yang kita jadikan pelarian dari persoalan di tempat lain juga bisa menjadi pemicu. Problem ekonomi, konflik di tempat kerja, atau bahkan ketidakpuasan kerja dapat memicu workaholic.

Dari sisi internal, orang yang terkena workaholic umumnya mengembangkan minus motivation (lawan dari plus motivation). Motivasi minus adalah motivasi yang digerakkan (driven) oleh dorongan negatif.

Misalnya, Anda bekerja mati-matian karena dendam, amarah, atau supaya bisa menjajah orang banyak ketika nanti sudah punya kekuasaan dan kekayaan. Kerakusan kerap menjadi motivasi minus yag sangat perkasa. Orang melakukan korupsi dan kerja mati-matian sampai lupa daratan seringkali bukan mereka yang kekurangan materi. Mereka melakukan itu karena dikuasai motivasi minus.

Sejumlah hasil riset menemukan motivasi menjadi faktor penting (Workaholism: It’s not just long hours on the job, APA [American Psychology Association], 2016). Pekerja keras digerakkan oleh motivasi intrinsik (motivasi plus) untuk bekerja karena tujuan yang positif. Sedangkan workaholic digerakkan oleh tekanan dari dalam (stressor atau motivasi minus) untuk bekerja.

Singkatnya, pemicunya sangat beragam. Tapi penentunya cukup jelas: kemampuan mengontrol diri, mengontrol keseimbangan, dan evaluasi diri. Seluruh kemampuan ini dalam bahasa agama disebut takwa (kemampuan menjaga diri).

Takwa yang diperintahkan bukan sebatas menaati perintah Tuhan yang tertulis (syar’iyah). Ini terlalu sempit. Semakin terlalu sempit lagi ketika takwa hanya dibatasi pada pelaksanaan ibadah formal.

Sebab takwa juga pasti dituntut pada ketaatan kita terhadap hukum Tuhan yang sifatnya kauniyah (sebab-akibat alamiyah) yang terungkap oleh pengalaman manusia, temuan sains dan teknologi.

Mengoptimalkan Kecerdasan Hati

Kecerdasan hati seseorang dapat naik dan turun, seperti juga sifat hati yang mudah berubah. Karena hati adalah raja dalam pemerintahan jiwa (global coordinator) maka ketika kecerdasannya turun, pasti anggota yang lain kacau. Bisa bekerja sendiri-sendiri, melawan kehendak hati, atau dorongannya lemah.

Supaya hati cerdas, dibutuhkan keharmonisan di dalamnya, dibutuhkan sinergi dengan yang lain, dan dibutuhkan kesiapan untuk menerima cahaya ilahi.

Apa sumber keharmonisan di hati? Ketika hati melakukan apresiasi-apresiasi rahasia, maka secara otomatis muncul keharmonisan. Temukan kebaikan, kelebihan, keistimewaan, dan keajaiban dari hidup Anda, lingkungan, orang-orang sekitar Anda, lalu Anda diam-diam menyimpulkannya dengan kalimat apresiatif di hati (misalnya al-hamdulillah), maka saat itu juga ada keharmonisan.

Karena hidup tidak cukup dengan hanya harmonis, maka hati perlu disinergikan dengan otak. Keduanya adalah mesin raksasa ketika keduanya bersinergi. Sinergi bisa diciptakan dengan merumuskan tujuan yang jelas (goal) dari aktivitas lalu diperjuangkan sampai total.

Hati akan selalu siap menerima cahaya ilahi ketika masih muncul dorongan untuk berubah, mencapai yang lebih tinggi, lebih baik, atau lebih yang lain. Caranya adalah memasukkan ilmu ke dalam hati, baik bersumber dari bacaan, pengalaman, pergaulan, atau renungan.

Sebaliknya, hati akan mati ketika sudah menutup pencerahan, perubahan, dan perbaikan. Hati yang mati itu disebut hati yang mem-batu (qosiyatul qulub).

Apa hubungannya dengan workaholic? Hasil riset HeartMath Institute menyimpulkan ketika hati cerdas, seseorang memiliki kekuatan yang super untuk mengontrol dirinya. Intuisinya menyala dengan baik sehingga cepat sadar mengenai langkahnya (Science of the Heart: 2015).

Cahaya Ilahi juga lebih powerful meng-guide dirinya dengan larangan dan perintah yang muncul dari hati (wa’idzon wa zajiron). Otak pun bekerja secara prima sehingga cepat bertanya mengenai tujuan dari aktivitasnya (mubshirun). Semoga bermanfaat.

Artikel

Serial Kecerdasan Hati – RESOLUSI 2022: STOP MEMBURU KEBAHAGIAAN!

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

Kebahagian kerap dijadikan sasaran resolusi di tahun baru. “Di tahun 2022 nanti, aku tidak ingin apa-apa. Tidak ingin kaya atau terkenal. I just want to be happy,” tulis seseorang di wall facebook-nya.

Meski menjadi ‘barang’ buruan banyak orang sejak tahun 1973—demikian menurut riset di psikologi—tapi Tuhan tidak menyuruh kita mencari kebahagiaan. Kita hanya diperintahkan untuk menjalankan perintah yang hasilnya pasti bahagia. Misalnya syukur, ridlo, atau optimistik, dst.

Artinya, kebahagiaan adalah akibat. Namanya akibat, pasti ia datang secara pasti tanpa dicari. Study para ahli menyimpulkan bahwa sebagian besar faktor penentu kebahagiaan adalah pilihan sikap internal. Karena itu, ada petuah bijak yang mengingatkan: hanya orang bodoh yang memburu kebahagiaan di luar sana, apalagi mahal pula biayanya.

Bahkan ada anekdot di grup WA yang saya ikuti. Seorang lelaki setengah baya di pagi hari menyeruput secangkir kopi hitam. Lalu diikuti dengan hisapan demi hisapan rokok kretek. Dan puncaknya, dari mulut laki-laki itu keluar ucapan: alhamdulillah, mudahnya bahagia di Indonesia.

EMPAT CIRI UTAMA KEHIDUPAN BERMAKNA

Sejatinya, berproses untuk menjadi orang yang bermaka adalah perintah untuk kita, sekaligus panggilan hati kita (inner call), dan kendaraan manusia untuk bahagia. Artinya, bermakna lebih tinggi derajatnya ketimbang bahagia.
Orang yang menjalani hidup bermakna pasti ujungnya bahagia, meskipun prosesnya terkadang penuh derita. Seperti apa kehidupan yang bermakna itu? Ada empat ciri utama kehidupan bermakna yang dapat kita jadikan resolusi sesuai kadar kita.

Pertama, orang akan merasakan hidupnya bermakna apabila ia memperjuangkan tujuan-tujuan yang besar, tinggi, atau yang sangat berarti baginya. “Kembali menjadi dosen adalah pilihan yang sangat berarti bagi saya setelah pensiun,” kata sahabat saya. Artinya, resolusi harus berangkat dari tujuan yang besar, tinggi, atau yang berarti.

Kedua, seseorang akan merasakan hidupnya bermakna apabila kehadirannya punya signifikansi bagi orang lain. Maksud signifikansi di sini bukan “merasa penting semata” atau “sok penting” tetapi bermanfaat karena kontribusi yang diberikan.

Rasulullah SAW menjelaskan, “Tangan di atas (selalu) lebih baik dari tangan di bawah,” (HR. Bukhori Muslim). Al-Quran menyebut sebagai “pemberi pinjaman kepada Allah” untuk orang yang mau berbuat baik dan bermanfaat bagi orang banyak.

Bahkan menurut laporan jurnal Positive Psychology, Standford University, 2014, signifikansi inilah yang membedakan orang bermakna dan orang bahagia. Bermakn berarti a giver (memberi), sedangkan berbahagia berarti a taker (mengambil).

Ketiga, orang akan merasakan hidupnya bermakna apabila ia memiliki kedaulatan diri yang kuat. Maksudnya, ia mampu mengambil keputusan penting berdasarkan pilihan-pilihan yang baik (ikhtiyar). Ia mukallaf (responsible) yang proaktif.

Tanpa disadari, banyak orang yang menyerahkan kedaulatan dirinya kepada orang lain atau kepada keadaan dengan mengatakan: hidup saya hancur dan begini jadinya karena si dia atau semisalnya. “Si dia” telah diangkat sebagai penguasa jiwa. Semakin sering kedaulatan itu diserahkan, semakin hampalah makna dalam jiwa itu.

Dalam al-Quran, kedaulatan diri adalah ciri kecerdasan hati tingkat tinggi (ulul albab). “ . . serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik,” (QS. Ar-Ra’du: 22).

Keempat, orang akan merasakan hidupnya bermakna apabila mampu memenangkan prinsip kebenaran ketika berhadapan dengan godaan. “Aku bahagia karena telah menjadi jujur,” kata Halimah, seorang petugas bandara Soetta yang melaporkan temuan cek miliaran kepada kantornya. “Merdeka atau mati,” semboyan pejuang kita dulu.

Berprinsip akan membuat seseorang pasti bermakna dan bahagia, asalkan berpijak di atas ajaran kebenaran. Tapi jika pijakannya di atas “benar sendiri” atau “menang sendiri” pasti ujungnya sengsara dan hampa makna.
Agar kebermaknaan dan kebahagiaan itu abadi (al-falah), al-Quran memberikan bocoran agar nawaitu dalam hati kita saat melakukan empat hal di atas menghadirkan “lillahi ta’ala”.

Home
Profile
Shop
Contact Us