KAPAN SAAT YANG TEPAT UNTUK MECAT?

Kecerdasan Hati

Serial Kecerdasan Hati

KAPAN SAAT YANG TEPAT UNTUK MECAT?

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

Selama menjadi pegawai dulu, saya adalah orang yang pernah mengikuti dua tipe atasan yang kontras. Ada yang anti mecat orang dan ada sangat gemar memecat.

“Saya tidak mau memutus rizki orang,” kata yang anti. “Saya mecat orang untuk kualitas kinerja,” kata yang satunya.

Mengingat pecat memecat ini sarat dengan tipe orang, maka seringkali muncul pertanyaan: bagaimana praktik tersebut tepat untuk dilakukan?

Hemat saya, ada dua landasan yang bisa dijadikan pijakan.  Pertama, landasan hubungan kemanusiaan. Kita dikasih pilihan untuk menjadi orang yang adil dan orang yang mulia secara kemanusiaan dalam merespon perilaku orang.

Bagaimana menerapkannya? Untuk perilaku seseorang yang dampak buruknya akan mengena ke banyak orang (organisasi), maka keadilan lebih perlu untuk ditegakkan.

“Satu orang pun yang mencuri pulpen, akan saya usir dari tempat ini. Sebab kelakuan buruk itu menular,” tegas KH. Abdullah Syukri, Pengasuh Pondok Modern Gontor di depan 3000 murid dan guru tahun 1992 yang saya catat di buku agenda. Inilah contoh keadilan diterapkan.

Tapi untuk keburukan yang menyasar pada kita sebagai person (leader), maka menjadi manusia yang mulia lebih perlu untuk dibuktikan. Artinya, seorang leader perlu memaafkan orang yang mendzolimi/bersalah, memberi orang yang menghalangi, dan menyayangi orang yang membenci.

Untuk menjadi manusia yang adil dan mulia di wilayahnya, dibutuhkan hati yang cerdas. Sebab, hati yang koneksinya tidak sampai ke langit (ajaran/value), tidak memiliki alasan yang kuat untuk menjadi manusia yang mulia dan adil.

Kedua, landasan sistem organisasi. Dari sejumlah kajian yang dipublikasikan oleh Harvard Business Review, Gallup, dan Forbes, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pembelajaran.

Yang mendasar adalah perlunya PIP (Performance Improvement Plan) dalam organisasi. Maksudnya, untuk memecat seseorang itu landasannya harus faktual, bukan prasangka, asumsi, atau tekanan jama’ah.

Untuk mendapatkan fakta berarti organisasi tersebut perlu memiliki standar kinerja (PIP) yang terkonsep dan terkomunikasikan. Sehingga dengan begitu seseorang tidak merasa ujuk-ujuk dipecat. Artinya, perlu ada dokumentasi perilaku yang bisa membuktikan pelanggaran.

Secara internasional, ada sejumlah perilaku yang bisa digunakan keputusan pemecatan. Antara lain: kinerja yang rendah, sering tidak masuk tanpa alasan, gagal melakukan perbaikan, moralnya merusak budaya kantor, mempengaruhi orang lain dalam hal keburukan, merusak kebijakan organisasi, melakukan kriminal, pembangkangan terhadap tatanan organisasi, pelecehan, dan perkelaian.

“Memecat orang yang bersalah tidak saja bagus bagi bisnis, tetapi juga dibutuhkan jika tujuan Anda adalah untuk memperbaiki kualitas kinerja,” demikian saran dari hasil riset Gallup Inc (22).