KENAPA PROTES DIRI ITU PENENTU KARAKTER PRIBADI?

Serial Kecerdasan Hati

Serial Kecerdasan Hati

KENAPA PROTES DIRI ITU PENENTU KARAKTER PRIBADI?

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist

Sering ada pertanyaan, kenapa ketika di Singapore atau Finlandia, orang Indonesia bisa berdisiplin di ruang publik, tapi begitu sudah kembali, perilaku itu berganti? Seorang teman di Bandara protes. Kesaksiannya, orang habis umrah saja tidak bisa ngantri. Padahal di sana berdoa menjadi umrah yang mabrurah, dan ciri kemabruran adalah akhlak mulia di ruang publik.

Karakter kolektif di ruang publik, memang lebih mudah dibentuk oleh regulasi, manajemen, atau budaya dominan. Kita bisa dengan mudah menghadirkan sifat atau perilaku tertentu di ruang publik karena ikut mayoritas atau takluk pada regulasi.

Dengan sifatnya yang mudah dibentuk itu maka karakter kolektif di ruang publik terkadang tidak disebut sebagai karakter asli pribadi seseorang. Karakter asli dihasilkan dari upaya untuk mengukir sifat ke dalam diri sehingga menjadi jati diri. Karakter asli merupakan hasil dari pencapaian. Karakter kolektif lebih tepat untuk disebut sebagai karakter paksaan atau sebatas ciri khas sosial.

Darimana karakter asli pribadi terbentuk? Jika ada yang bilang bahwa karakter tersebut terbentuk dari pilihan-pilihan kecil sehari-hari, memang itu tidak salah. Pilihan kita dalam merespons keadaan mencerminkan karakter kita. Misalnya, ketika Anda dihadapkan pada kegagalan, di sana banyak pilihan. Pilihan yang sering Anda jalankan itulah karakter Anda.

Apakah pilihan itu muncul begitu saja atau bagaimana? Di sinilah rahasia protes diri. Protes diri adalah ketidakpuasan seseorang pada bagian tertentu dari dirinya yang menghasilkan kesadaran untuk perbaikan atau perubahan. Bagian tertentu itu bisa jadi sebuah sifat, akhlak hubungan, panggilan sosial, atau keahlian. Protes yang demikian akan menjadi penguat karakter.

Tampilnya Bung Karno, Panglima Soedirman, Bung Hatta, KH. Hasyim Asy’ari atau KH. Ahmad Dahlan karena protes pada dirinya apabila diam melihat keadaan. Karena itu, bila membaca konstruksi Imam Ghazali mengenai akhlak, seperti dalam Ihya, maka penolakan (al-ghadhob) menjadi material rohani yang sangat inti untuk menegakkan empat pilar akhlak, yaitu al-hikmah (kebijaksanaan), keberanian (asy-syaja’ah), pengendalian diri (iffah), dan adil.

Penolakan yang dikelola dengan baik dan proporsional, akan menghasilkan keberanian. Tidak disebut berkarakter jika keberanian hilang dari seseorang. Protes yang kuat ke dalam akan menghasilkan keberanian bertindak. Tapi jika penolakan itu berlebihan dan salah arah, maka hasilnya destruktif karena merusak ke dalam dan ke luar, seperti minder, inner conflict, perfeksionis yang tidak jelas, atau protes yang merusak.

Sebaliknya, bila seseorang kurang memiliki penolakan (ifrod), hasilnya pasrah pada keadaan atau menerima secara lemah, dan ini tidak menghasilkan karakter. Bahkan guru besar ilmu tasawuf, Ibnu Athoillah dalam al-Hikam, menyebut sebagai sumber kemaksiatan dan kelengahan. “Ashlu kulli ma’shiatin waghoflatin ar-ridlo anin nafs,” tulis beliau.