MASIHKAH DUNIA PENDIDIKAN BERPIKIR AKAN MENYIAPKAN PEKERJA?

Kecerdasan Hati

Serial Kecerdasan Hati

 

MASIHKAH DUNIA PENDIDIKAN BERPIKIR AKAN MENYIAPKAN PEKERJA?

 

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

 

Hubungan kecocokan supply-demand antara dunai pendidikan (tingkat atas dan tinggi) dan dunia kerja terbukti lemah. Riset dan fakta membuktikan itu. Sebagai respon, maka pada 1990-an, lahirlah konsep CBHRM (Competency-Based Human Resource Management).

 

Konsep ini setengah tidak percaya dengan nilai akademik. Sekolah barulah dianggap dapat menghantarkan seseorang memiliki kualifikasi, belum kompetensi. Padahal, kebutuhan dunia kerja adalah kompetensi.

 

Kompetensi berarti kemampuan menerapkan sekian keahlian (skills) yang dibutuhkan oleh peranan, pekerjaan atau profesi yang dampaknya langsung pada hasil (kinerja).

 

Sebagai contoh, seseorang yang jago komputer di ruang kelas, belum tentu kompeten di pekerjaan professional. Kenapa? Jika dia tidak bisa bekerja sama dengan orang lain, mindsetnya negatif, tidak mau belajar lagi, apalagi suka bohong, maka kinerjanya lama-lama rendah.

 

Hampir semua lulusan pesantren bisa bicara di podium, sebab itu bagian dari kegiatan wajib. Tapi untuk menjadi speaker handal, seperti UAS atau almarhum Zainuddin MZ, nanti dulu. Menjadi speaker tidak cukup hanya dengan skill. Ia membutuhkan kompetensi.

 

Ketika tatanan zaman diobrak-abrik oleh disrupsi teknologi dan pandemi, maka kecocokan supply-demand itu semakin tidak jelas lagi. Bahkan sudah mulai muncul fenomena ledakan non-gelar untuk bidang-bidang tertentu. Artinya, posisi kualifikasi semakin didesak minggir oleh kompetensi.

 

Ini belum lagi bicara soal pengambilalihan mesin (artificial intelligence) terhadap pekerjaan manusia. Jargonnya, satu mesin bisa menangani 50 pekerjaan manusia yang sifatnya rutin dan tersistem.

 

Karena itu, riset Bank Dunia menyimpulkan bahwa untuk Indonesia, di atas 57% semua pekerja (professional) perlu reskilling (dinaikkan skilnya) dan upskilling (ditambah lagi). Apalagi lulusan baru?

 

Kembali ke pertanyaan di atas, jadi bagaimana? Para pemikir dunia bersuara, dunia pendidikan diminta lebih fokus menyiapkan orang-orangnya dengan berbagai skill yang tidak bisa diganti oleh mesin dan responsif terhadap perubahan zaman.  Syukur-syukur bisa membekali kompetensi sekaligus.

 

Berbagai skill tersebut mengerucut pada tiga klaster utama, yaitu: a) self leadership, b) collaboration, dan c) leading people. Artinya, jurusan apapun, perlu mendapatkan bekal tersebut.

 

Dengan kata lain, dunia pendidikan semakin tidak bisa lagi mengoptimalkan pembekalan pada hand (keterampilan) dan head (pengatahuan kognitif), tetapi juga harus heart (heart).

 

Bahkan menurut riset mutakhir yang menyebut temuannya sebagai “new science” (HeartMarth Institute) justru heart-lah yang mestinya mendapatkan perhatian besar. Sebab, kinerja otak, skill sosial,  dan koordinasi jasmani-rohani manusia ditentukan oleh heart.

 

Riset ini mengukuhkan eksplorasi spiritual ulama tasawuf seribu tahun sebelumnya bahwa hati adalah raja dalam pemerintahan jiwa (malik). Hand dan head adalah pasukan dan pelayan hati.