MEMBEDAKAN TEGAS DAN KERAS DALAM PRAKTIK PENDIDIKAN

Kecerdasan Hati

 Serial Kecerdasan Hati

 MEMBEDAKAN TEGAS DAN KERAS DALAM PRAKTIK PENDIDIKAN

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

 “Sebagai guru, saya sebenarnya tidak boleh memukul. Tapi, pada saat itu saya khilaf dan merasa emosi tinggi sehingga memukul anak tersebut,” kata seorang guru di Surabaya yang sempat menjalani hukuman penjara atas kekerasan yang dilakukan kepada muridnya.

Guru memang harus tegas, tetapi tidak boleh keras. Bagaimana dipraktikkan di lapangan?

Pendidikan yang tegas diharuskan oleh sunnatullah untuk menghasilkan karakter yang kokoh dan kompetensi yang unggul. Tegas dalam berpegang teguh pada prinsip. Tegas dalam berdisiplin. Tegas dalam mempertahanakan tujuan. Dan tegas dalam mencapai kemajuan.

Jangan sampai kita mengharapkan pembelajan dengan materi yang ringan-ringan, disiplinnya karet, yang penting enjoy, tapi mengharapkan hasil perubahan yang optimal. “Hayhata,” kata orang Arab. Alias, mana ada?

Tanggal 15 September 2022, tiba-tiba ada yang mengirim tiktok di WA saya. Isinya, seorang remaja tengah siap untuk demo. Ketika ditanya apa yang didemokan, jawabannya masya Allah! “Mendukung Pak Jokowi dilantik menjadi kapolri,” jelasnya polos di tiktok itu.

Sebagai produk pendidikan, ini patut menjadi renungan. Apakah ini hasil dari proses pendidikan yang mudah tapi dapat nilai ijazah mewah?

Lemahnya ketegasan berdampak pada kualitas SDM. Dan satu-satunya masalah besar bagi Indonesia dengan bonus demografis yang mulai diterima tahun 2024 adalah kualitas SDM yang rendah.

Tegas adalah respon positif terhadap kenyataan yang kita hadapi. Respon tersebut lahir dari prinsip dan pemahaman yang menancap di hati. Artinya, ketika hati hampa prinsip dan pemahaman, secara otomatis tidak muncul ketegasan.

Untuk tegas tidak menuntut kekerasan di praktik lapangan. Dengan kasih sayang, sopan, dan lembut, seorang guru tetap bisa tegas. Gambarannya seperti air. Barangnya lembut dan fleksibel, namun karakternya tegas. Air tetaplah air mau ditempatkan dimana saja meskipun bentuk fisiknya berubah.

Sebaliknya, keras adalah reaksi negatif terhadap kenyataan yang kita tolak. Reaksi tersebut bisa bersumber dari pemahaman yang minus  atau karena kehilangan kontrol. Secara kecenderuangan, keras akan lebih banyak menghasilkan hal-hal yang destruktif.

Untuk era sekarang, hampir semua guru sudah punya pemahaman bahwa kekerasan adalah terlarang, lebih utamanya kekerasan fisik. Tapi, seperti diakui oleh seorang guru dari Surabaya di atas, kekerasan itu terjadi karena kehilangan kendali.

Pertanyaannya, bagaimana memperkuat kendali kontrol? Riset HeartMarth Institute menyimpulkan bahwa ketika jantung (hati fisik) dipenuhi emosi positif, maka bukan saja kinerja otak yang meningkat, tetapi kontrol diri dan ketangguhan jiwa juga lebih optimal.

Emosi positif yang terungkap dalam riset tersebut adalah apresiasi, syukur, kasih sayang, dan peduli. Bisa dipraktikkan langsung, ketika kita menemukan hal-hal yang kita apresiasi, kontrol kita meningkat. Lebih-lebih jika disempurnakan dengan kasih sayang dan cinta.

Sebaliknya, ketika kita mengembangkan kesimpulan negatif, ketidakpuasan, amarah, dan kebencian, maka kekuatan untuk mengontrol diri semakin melemah.

Al-Quran mengingatkan kita: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri.” (QS. al-Hasyr: 19).

Tentu, untuk hasil yang optimal, secara institusi dibutuhkan aturan dan keteladanan.