MENUNDUKKAN NAFSU WORKAHOLIC DENGAN KECERDASAN HATI

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT.
Heart Intelligence Specialist

Ketika saya memulai kerja dulu, antara tahun 1995-2000, saya dipertemukan dengan pimpinan yang top. Pagi jam 7.00 sudah di kantor untuk belajar bahasa Inggris dengan kawan saya. Pak bos ingin melakukan ekspansi usaha di Eropa dan Amerika.

Malam hari, meski tidak rutin, ada seorang guru privat agama yang didatangkan. Siangnya di jam kerja, waktunya total digunakan untuk mengurusi orang-orangnya, usahanya, dan mitranya di Timur Tengah.

Banyak pegawai yang mengkhawatirkan bahwa bosnya telah mengalami keranjingan kerja (workaholic). Tapi setelah saya baca di beberapa literur, ternyata tidak semudah itu untuk disebut keranjingan. Kesimpulan tidak bisa diambil dari kenyataan.

Ada perbedaan antara keranjingan kerja dan kerja keras (work engagement). Membedakannya lebih sulit lagi sekarang. Sebab, hampir semua orang dapat bekerja kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja. Kemajuan teknologi komunikasi telah mengacauan tatanan kerja.

Ciri-ciri Keranjingan Kerja

  • Secara mendasar, keranjingan kerja mengandung unsur compulsive dan addictive. Artinya, ada tekanan, paksaan, dan sensasi rasa ”asyik” untuk terus bekerja/beraktivitas. Sejumlah riset menyimpulkan bahwa orang yang terkena keranjingan kerja memiliki ciri-ciri berikut:
  • Mengabaikan hal-hal lain yang penting dalam hidup manusia secara umum. Misalnya kesehatan, penampilan, atau keluarga. Mereka kehilangan kesadaran untuk menciptakan keseimbangan.
  • Tidak mampu mendelegasikan urusan kerja kepada orang lain pada porsi dan keharusan tertentu atau tidak pernah mempercayai orang lain.
  • Mereka hanya asyik dengan pekerjaan, tetapi tidak jelas apa yang ingin diraih dengan pekerjaannya itu. Thomas Edison berpesan, ”Jangan hanya sibuk di pekerjaan. Bertanyalah apa tujuan Anda.”
  • Yang menjadi top priority di kepalanya dimanapun berada adalah urusan pekerjaan, termasuk di kamar.
  • Tidak memiliki ketertarikan di bidang lain yang dibutuhkan oleh hidupnya, seperti membaca, hiburan, atau kegiatan pengembangan yang lain.

Banyak pemicu eksternal dan internal kenapa keranjingan hadir. Pekerjaan atau aktivitas yang kita jadikan pelarian dari persoalan di tempat lain juga bisa menjadi pemicu. Problem ekonomi, konflik di tempat kerja, atau bahkan ketidakpuasan kerja dapat memicu workaholic.

Dari sisi internal, orang yang terkena workaholic umumnya mengembangkan minus motivation (lawan dari plus motivation). Motivasi minus adalah motivasi yang digerakkan (driven) oleh dorongan negatif.

Misalnya, Anda bekerja mati-matian karena dendam, amarah, atau supaya bisa menjajah orang banyak ketika nanti sudah punya kekuasaan dan kekayaan. Kerakusan kerap menjadi motivasi minus yag sangat perkasa. Orang melakukan korupsi dan kerja mati-matian sampai lupa daratan seringkali bukan mereka yang kekurangan materi. Mereka melakukan itu karena dikuasai motivasi minus.

Sejumlah hasil riset menemukan motivasi menjadi faktor penting (Workaholism: It’s not just long hours on the job, APA [American Psychology Association], 2016). Pekerja keras digerakkan oleh motivasi intrinsik (motivasi plus) untuk bekerja karena tujuan yang positif. Sedangkan workaholic digerakkan oleh tekanan dari dalam (stressor atau motivasi minus) untuk bekerja.

Singkatnya, pemicunya sangat beragam. Tapi penentunya cukup jelas: kemampuan mengontrol diri, mengontrol keseimbangan, dan evaluasi diri. Seluruh kemampuan ini dalam bahasa agama disebut takwa (kemampuan menjaga diri).

Takwa yang diperintahkan bukan sebatas menaati perintah Tuhan yang tertulis (syar’iyah). Ini terlalu sempit. Semakin terlalu sempit lagi ketika takwa hanya dibatasi pada pelaksanaan ibadah formal.

Sebab takwa juga pasti dituntut pada ketaatan kita terhadap hukum Tuhan yang sifatnya kauniyah (sebab-akibat alamiyah) yang terungkap oleh pengalaman manusia, temuan sains dan teknologi.

Mengoptimalkan Kecerdasan Hati

Kecerdasan hati seseorang dapat naik dan turun, seperti juga sifat hati yang mudah berubah. Karena hati adalah raja dalam pemerintahan jiwa (global coordinator) maka ketika kecerdasannya turun, pasti anggota yang lain kacau. Bisa bekerja sendiri-sendiri, melawan kehendak hati, atau dorongannya lemah.

Supaya hati cerdas, dibutuhkan keharmonisan di dalamnya, dibutuhkan sinergi dengan yang lain, dan dibutuhkan kesiapan untuk menerima cahaya ilahi.

Apa sumber keharmonisan di hati? Ketika hati melakukan apresiasi-apresiasi rahasia, maka secara otomatis muncul keharmonisan. Temukan kebaikan, kelebihan, keistimewaan, dan keajaiban dari hidup Anda, lingkungan, orang-orang sekitar Anda, lalu Anda diam-diam menyimpulkannya dengan kalimat apresiatif di hati (misalnya al-hamdulillah), maka saat itu juga ada keharmonisan.

Karena hidup tidak cukup dengan hanya harmonis, maka hati perlu disinergikan dengan otak. Keduanya adalah mesin raksasa ketika keduanya bersinergi. Sinergi bisa diciptakan dengan merumuskan tujuan yang jelas (goal) dari aktivitas lalu diperjuangkan sampai total.

Hati akan selalu siap menerima cahaya ilahi ketika masih muncul dorongan untuk berubah, mencapai yang lebih tinggi, lebih baik, atau lebih yang lain. Caranya adalah memasukkan ilmu ke dalam hati, baik bersumber dari bacaan, pengalaman, pergaulan, atau renungan.

Sebaliknya, hati akan mati ketika sudah menutup pencerahan, perubahan, dan perbaikan. Hati yang mati itu disebut hati yang mem-batu (qosiyatul qulub).

Apa hubungannya dengan workaholic? Hasil riset HeartMath Institute menyimpulkan ketika hati cerdas, seseorang memiliki kekuatan yang super untuk mengontrol dirinya. Intuisinya menyala dengan baik sehingga cepat sadar mengenai langkahnya (Science of the Heart: 2015).

Cahaya Ilahi juga lebih powerful meng-guide dirinya dengan larangan dan perintah yang muncul dari hati (wa’idzon wa zajiron). Otak pun bekerja secara prima sehingga cepat bertanya mengenai tujuan dari aktivitasnya (mubshirun). Semoga bermanfaat.