MORAL KILLER DALAM ORGANISASI

Kecerdasan Hati

MORAL KILLER DALAM ORGANISASI

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT | Heart Intelligence Specialist

Fakta sejarah umat terdahulu memberikan pelajaran penting terkait eksistensi. Banyak umat yang hilang dari peredaran jagat ini ternyata bukan karena kurang canggih skill-nya. Mereka dilenyapkan oleh Allah SWT karena karakter moral yang rusak atau modal spiritualnya ludes.

Ada petunjuk penting dari al-Quran yang perlu dijadikan pelajaran. “Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, selama penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan,” (QS. Hud: 117).

Tentu fenomena di atas tidak lantas dimaknai bahwa skill, teknologi, dan sains tidak penting bagi peradaban. Untuk mengisi dan mengangkat performa peradaban, manusia membutuhkan semua itu. Dari sain dan teknologi inilah lahir kemewahan, kemajuan, dan kegegap-gempitaan zaman.

Dengan sains dan teknologi, manusia membangun kemajuan dan ketinggian. Tapi jika tanpa modal moral, maka langkahnya dalam mencapai kemajuan dan ketinggian akan jatuh terjunggal dan terhempas.

Karena itu, organisasi apapun di dunia membutuhkan modal moral untuk menjaga eksistensinya dan menyempurnakan capain kinerjanya.

EMPAT MORAL KILLER

Mempelajari hasil riset dan fakta-fakta organisasi di dunia ini, ada sedikitnya empat moral killer (penghancur moralitas) yang perlu diwaspadai.

Pertama, disintegritas atasan. Jika atasan kerap ngomong A tapi yang dilakukan atau yang diperintahkan B, maka kepercayaan (trust) akan turun. Kekacauan moral terjadi ketika kepercayaan terkikis. Orang akhirnya bertindak sesuai kepentingan egonya. Anjuran moral hanya berupa tulisan dan ucapan.

Sampai hari ini, bila kita melihat tren hasil riset internasional mengenai modal personal yang harus dimiliki para pemimpin, bisa kita temukan bahwa integritas (sidik) tetap menjadi nomor wahid.

Kedua, konflik destruktif. Organisasi sepak bola, kampus, masyarakat, keluarga, atau perkumpulan apapun di dunia ini apabila hubungan antarmanusia di dalamnya sudah didominasi oleh konflik yang merusak, sudah pasti bangunan moralnya berantakan.

Tak hanya itu. Menurut petunjuk al-Quran, laknat Allah pun akan turun dalam berbagai bentuk (QS. Ar-Ra’d: 25). Lain soal kalau konfliknya masih berupa konflik produktif yang justru malah menyegarkan kreativitas.

Ketiga, sistem manajemen yang lemah. Pada manajemen yang lemah, orang yang melanggar atau yang tidak berprestasi dibiarkan, tetapi kepada yang hebat juga dibiarkan. Artinya, manajemen tidak membedakan perlakuan kepada orang yang baik (the best) dan orang yang buruk, yang berprestasi bagus dan yang tidak berprestasi.

Manajemen yang lemah mengingkari tugas dasarnya untuk menegakkan keadilan dan kemuliaan. Jika ini berlanjut, dipastikan moralitas di organisasi kacau. Banyak yang tidak termotivasi untuk berprestasi, lebih buruk lagi jika orang yang tidak baik malah mengendalikan situasi.

Keempat, rakus oleh atasan. Dengan kekuasaan di tangan, seorang atasan dapat berbuat sebanyak mungkin untuk memenangkan kepentingan pribadi. Aturan bisa dibuat dan pelanggaran terhadap aturan pun bisa disiasati. Dan ini jamak terjadi.

Tapi hubungan atasan-bawahan bukan semata hubungan administratif dan fisik. Ada hubungan hati yang terus berkomunikasi. Karena itu, ada ungkapan bijak yang berpesan, “Atasan yang rakus tidak bisa menghentikan kerakusan bawahannya.” Kenapa? Karena yang mengendalikan perilaku orang lain bukan semata posisi, tetapi juga komunikasi hati.