Akademi Soft Skills Indonesia

News

Artikel

Serial Kecerdasan Hati – PRODUKTIVITAS CIRI UTAMA KESUKSESAN PUASA

Serial Kecerdasan Hati – PRODUKTIVITAS CIRI UTAMA KESUKSESAN PUASA

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT | Heart Intelligence Specialist

Banyak yang mengkaitkan puasa dengan pahala, surga, atau pengampunan dosa. Padahal, jika dikembalikan ke narasi al-Quran, ternyata bukan itu yang seharusnya kita buru siang-malam. Justru produktivitaslah yang harus menjadi perhatian utama bagi orang yang menjalankan puasa.

Al-Quran dengan gamblang menjelaskan bahwa tujuan utama puasa adalah untuk (meningkatkan) bertakwa. Takwa ini jika menelaah penjelasan al-Quran adalah produk yang sangat nyata yang bisa diukur pada diri seseorang di dunia ini. “Sebenarnya setiap orang sudah mengetahui keadaan diri mereka masing-masing,” (QS. al-Qiyamah: 14).

Artinya, siapapun yang berpuasa, idealnya harus ada hasil yang nyata pada dirinya. Bahasa modern untuk menyebut itu adalah produktif atau menghasilkan produk. Apa saja produk tersebut?

Di antara produk ketakwaan yang dijelaskan al-Quran adalah integritas (iman pada al-ghoib), mendirikan shalat (bukan sebatas mengerjakan), spiritual (yakin pada akhirat), proaktif (merespon positif atas hal negatif), kematangan emosi, empati, kasih sayang, sabar, dan seterusnya. Untuk lebih lengkapnya, kita bisa merujuk pada sejumlah ayat dalam al-Quran.

Kenapa konsentrasi pada tujuan produktivitas tersebut menjadi penting? Berbagai riset modern menemukan fakta bahwa tujuan adalah alat penting agar manusia mengeluarkan kehebatan yang terpendam di dalam dirinya.

Jika seseorang berpuasa dengan tujuan untuk meningkatkan produk ketakwaan dalam tindakan hati dan hasil yang nyata di dunia sekarang ini, maka tujuan itu akan mendoronganya untuk mengeluarkan kekuatan (jihad) dan ini akan menghasilkan karakter. “Karakter hanya bisa dihasilkan melalui jihad (perjuangan,” kata orang bijak. Begitu jihad telah dijalankan, sudah pasti petunjuk dari Allah didatangkan. Demikian al-Quran menjelaskan.

Ini berbeda dengan ketika seseorang menjalankan puasa untuk mengejar pahala, surga, atau pengampunan dosa dengan mengesampingkan peningkatan takwa. Selain tujuan tersebut tidak berbentuk produk (hasil yang nyata hari ini di dunia yang bisa diukur), pun juga kurang kuat dorongannya untuk mengeluarkan kehebatan diri (latihan berjihad). Inilah barangkali jawaban kenapa banyak orang yang beribadah (puasa), tapi karakternya dalam menghadapi hidup tidak terbentuk.

Lalu, apakah salah jika orang berpuasa untuk pahala dan surga? Salah dan tidak salah tentu bukan wilayah manusia untuk menghukuminya.

Bukankah banyak hadits Nabi yang berbicara puasa dan pahala, puasa dan pengampunan, puasa dan surga? Jika kita telaah, penjelasan Rasulullah SAW terkait dengan pahala, surga, dan pengampunan, ternyata posisinya bukan di tujuan, melainkan di balasan. Balasan sifatnya pasti selama persyaratannya kita penuhi.

Ibaratnya begini. Ada dua orang karyawan yang sama-sama pergi ke kantor setiap hari. Karyawan A menjadikan gaji bulanan sebagai tujuan. Sedangkan karyawan B menjadikan pengembangan diri sebagai tujuan. Keduanya tetap mendapatkan balasan (gaji) selama bekerja sesuai prosedur. Yang berbeda adalah karakter dan keahlian.

Secara kauniyah, karyawan B lebih bisa diprediksi akan memiliki keahlian yang lebih banyak dan karakter yang lebih kuat dalam waktu kurang lebih 10.000 jam hari kerja (6-7 tahun).

Artinya, puasa adalah madrasah atau moment of God’s education agar kita hadir sebagai sosok yang lebih bertakwa dari tahun sebelumnya dengan hasil yang nyata (produktif). Sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah, takwa itu pusatnya di dada (hati). “At-Taqwa ha huna,” demikian sabda beliau.

Artikel

Serial Kecerdasan Hati – KONFLIK DAN KECERDASAN HATI

Serial Kecerdasan Hati – KONFLIK DAN KECERDASAN HATI

Oleh Ubaydillah Anwar, CSC, CPT.
Heart Intelligence Specialist

Konflik adalah cara Tuhan mendidik manusia. Sudah menjadi keputusan takdir bila konflik harus ada di dunia ini. Bahwa nanti ada orang yang menjadi lebih baik, lebih kuat, atau lebih tercerahkan setelah konflik atau sebaliknya, itu pilihan manusia. Bahwa ada konflik yang mendapatkan solusi cepat atau sebaliknya, itu juga pilihan manusia.

Di sinilah letak pendidikannya: menguji pilihan-pilihan manusia.

Teori komunikasi modern menyebut konflik sebagai keniscayaan dari konsekuensi. “Conflict is the consequent,” kata mereka. Setiap ada pihak-pihak yang berkomunikasi dan berinteraksi, pasti nanti ada konflik. Soal konflik itu kemudian menjadi konstruktif atau destruktif, itu tergantung pilihan yang ditempuhnya.

Malah di tahun 1945, Keren Horney, psikolog asal Jerman, menggagas pemikiran yang disebut sebagai kebutuhan dasar manusia, baik untuk melindungi diri atau untuk berkembang. Horney menyimpulkan ada tiga kebutuhan itu, yaitu: a) kecenderungan untuk bergerak menuju orang lain, misalnya bekerja sama, b) kecenderungan untuk menjauhi orang lain, seperti mandiri, dan c) kecenderungan untuk melawan orang lain, seperti adu kekuatan atau konflik.

KENAPA KONFLIK MENJADI SEMAKIN DESTRUKTIF?

Tentu ada sekian sebab/faktor yang membuat konflik semakin buruk dan memperburuk situasi (destruktif). Apalagi jika konfliknya berskala besar, seperti Rusia-Ukraina, Israil-Palestina, Syiah-Syunni, dan seterusnya. Pasti tidak ada faktor tunggal.

Praktik dunia professional menemukan indikasi konflik yang destruktif. Di antaranya: a) mendorong seseorang untuk melemahkan/menghancurkan orang lain, b) menusuk dari belakang secara sembunyi-sembunyi, c) merusak produktivitas, d) persaingan saling mengalahkan, d) menggunakan bahasa yang merusak hubungan, e) sikap acuh tak acuh atau dingin, dan seterusnya.

Dari praktik yang sering terjadi, konflik menjadi destruktif karena masing-masing pihak telah mengalami apa yang disebut “losing perspective” (kehilangan perspektif) yang sehat. Masing-masing pihak telah mendefinisikan bahwa dirinya benar 100% dan lawannya salah 100%.

Akibat kehilangan perspektif tersebut, maka kebencian, amarah, atau kedendaman (general negative emotion) memenuhi dada manusia. Secara kecerdasan hati, sebagaimana ditemukan dalam riset HeartMart Institute, begitu dada terpenuhi oleh emosi negatif, maka secara otomatis seseorang akan kehilangan self-regulation ability (kemampuan mengatur diri).

Sejarah dipenuhi dengan catatan dari tindakan seseorang yang lepas kendali secara ekstrim karena dada dipenuhi amarah atau kebencian. Dimulai dari Qobil putra Nabi Adam sampai ke X,Y, Z, dan seterusnya hari ini.

Jauh sebelum riset di atas mengungkap fakta tentang manusia, malaikat telah menyampaikan ini kepada Nabi Dzulkarnain. Sang Nabi meminta nasihat kepada malaikat agar hidup manusia tidak salah. Malaikat kemudian berpesan: jangan pernah dikuasai amarah. Kenapa? Begitu seseorang dikuasai amarah, maka iblis dapat menyetirnya (kehilangan kendali diri). Demikian kira-kira al-Ghazali dalam kitab Ihya menceritakan pertemuan Nabi Dzulkarnain dengan malaikat.

MENCERDASKAN HATI SEBAGAI SOLUSI

Solusi di sini jelas bukan obat, yang begitu diminum lantas bekerja sendiri. Solusi dari konflik adalah learning steps (langkah-langkah pembelajaran) yang dapat menghantarkan kita menjadi lebih baik.

Idealnya, solusi konflik selalu ada dua, solusi yang berbasis manajemen untuk mengatasi materi atau persoalan yang dikonflikkan. Untuk ini, biasanya yang paling umum adalah negosiasi kepentingan (interest). Hasilnya ada yang menang-menang, kalah-menang, atau saling-mengalah.

Tapi solusi manajemen di atas seringkali belum bisa memperbaiki hubungan manusia yang pernah berkonflik. Harus ada solusi yang berbasis kecerdasan hati. Ini sangat berguna terutama ketika konflik itu terjadi dengan orang-orang dekat yang sebagian besar waktu kita bersama mereka.

Untuk mencerdaskan hati harus dimulai dari apresiasi (menciptakan kesimpulan yang apresiatif), baik terhadap konfliknya atau terhadap orang yang berkonflik dengan kita. Jangan sampai kehilangan perspektif itu berlanjut. Dada yang dipenuhi apresiasi akan menghidupkan otak dan akan memperkuat kemampuan regulasi diri.

Solusi hati lain yang telah disahkan oleh semua agama, semua ajaran spiritual, dan ilmu pengetahuan adalah memaafkan. Memaafkan bukan berarti menghapus kesalahan orang yang menurut kita salah, tetapi menghapus kebencian dan kedendaman dari dada kita.

Dunia ini menyediakan dua jalur untuk proses memaafkan, yaitu jalur darat dan jalur udara. Jalur darat adalah menempuh langkah-langkah memaafkan berdasarkan prosedur ilmu. Dimulai dari meluapkan amarah, bernego dengan diri, sampai bisa menerima, lalu memutuskan untuk memaafkan. Waktunya bisa sehari, seminggu, atau sepuluh tahun.

Sedangkan jalur udara adalah jalur dengan mengendarai burog (bahasa Arab: kilat). Artinya, kita memaafkan orang lain karena perintah iman dan hanya untuk mengharap ridlo Allah. Titik. Ini bisa terjadi seketika atau sangat kilat.

Dialog juga solusi hati sangat bagus. Dialog adalah lawan dari debat. Dialog berarti saling bertukar kebenaran lalu menyepakati aksi-aksi yang perlu dilakukan demi kebaikan. Untuk dialog ini, syaratnya adalah hati yang dipenuhi apresiasi, care (peduli), dan compassion (menganggap orang lain juga penting atau memunculkan kasih sayang).

Artikel

Serial Kecerdasan Hati – KENAPA BERPIKIR KRITIS ITU BERBEDA DENGAN BERPIKIR NEGATIF?

Serial Kecerdasan Hati – KENAPA BERPIKIR KRITIS ITU BERBEDA DENGAN BERPIKIR NEGATIF?

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

Ada ungkapan yang diyakini banyak orang dari Albert Einstein. “Berpikir itu pekerjaan sulit dan karena itu hanya sedikit orang yang berhasil melakukannya,” kata dia. Oleh Thomas Edison, kenyataan ini pernah ia jelaskan dengan kalimat yang keras: “Sebagian besar manusia memilih mati ketimbang disuruh berpikir.”

Lebih dahsyat lagi kalau melihat hadits Nabi Muhammad, seperti dikutip Al-Ghazali dalam Ihya: “Agama itu akal.” Istilah akal kerap mengarah pada dua pengertian utama, yaitu pemahaman positif yang dihasilkan dari hati rohani dan akal dalam arti kesimpulan positif dari proses berpikir. Dan menggunakan akal adalah perintah pertama manusia dalam al-Quran: Iqro!

Salah satu konsep berpikir yang hari ini digaungkan sangat penting untuk kualitas hidup manusia adalah berpikir kritis (critical thinking). Prosesnya dimulai dari kemauan untuk mengamati situasi eksternal lalu membuat penjelasan yang kritis, bukan penjelasan yang dibangun dari opini sendiri semata.

Untuk menghasilkan penjelasan yang kritis itu, idealnya dibutuhkan dukungan informasi, data, pengetahuan, pijakan ilmu, dan cahaya agama. Ujung dari prosesnya adalah serangkaian rumusan sikap dan tindakan yang dapat menghasilkan solusi atau kreasi baru yang pas untuk ukuran/keadaan kita.

Sebagai latihan, kita bisa mempraktikkan berpikir kritis ini untuk merespon bisnis kita, lingkungan kerja, pengembangan karier, situasi politik yang tidak kita harapkan, kehidupan sosial yang selama ini kita anggap mengecewakan, dan seterusnya.

Tentu dalam praktik dan konsepnya terhadap skala dari yang rendah sampai yang tinggi. Intinya, jangan sampai kita hanya memproduksi reaksi negatif dalam berbagai bentuk atas manusia dan keadaan yang kita nilai tidak beres. Inilah yang disebut berpikir negatif.

Berpikir kritis adalah perintah akal, ilmu, dan perintah agama. Selain itu juga sangat menyehatkan otak. Sebaliknya, berpikir negatif adalah larangan, selain juga berdampak destruktif.

Untuk berpikir kritis memang butuh syarat. Teori triune brain mensyaratkan agar kita harus menjadi manusia yang seutuhnya. Teori tersebut membagi struktur otak menjadi tiga: otak reptile, otak mamalia, dan otak manusia berakal (neo cortex).

Ketika kita hanya bereaksi negatif atas situasi (lawan dan lari) berarti yang bekerja adalah otak reptil. Ketika kita menjadi total individualis, orang lain tidak penting, semau sendiri, berarti yang aktif dominan adalah otak mamalia.

Kita baru menjadi hayawanun nathiq (hewan yang berakal) saat menggunakan neo cortex (berpikir, menggunakan instrumen pengetahuan, dan cahaya ajaran). Tentu, pada setiap orang tidak bisa lepas dari adonan sifat mamalia atau reptilnya.

Bahkan Al-Ghazali menyebut ada empat adonan yang membentuk sifat manusia: mamalia, binatang buas, setan, dan ketuhanan (penentu). Kualitas seseorang tergantung sekuat apa sifat-saifat ketuhanannya mengontrol sifat kehewanan dan kesetanannya.

Di sinilah hati menjadi penentu. Otak bukan penentu tunggal dalam struktur pemerintah jiwa manusia. Riset dan ajaran menyimpulkan hati yang menjadi raja dan penguasa sekaligus penentu kinerja otak (cognitive performanca). Hati yang sakit dan hati yang mati tak akan sanggup menyuruh manusia menggunakan neo cortex brain-nya.

Terbukti, ketika hati dikuasi amarah, kebencian, iri-dengki, pembenaran diri sendiri, dan kerakusan, mana bisa berpikir kritis? Qabil yang putra seorang nabi pun tak sanggup berpikir kritis saat hatinya gelap.
Semoga bermanfaat.

Artikel

BAGAIMANA MENGUASAI SKILL BARU DENGAN MENGOPTIMALKAN KECERDASAN HATI?

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

Mendadak saya mendapatkan kejutan dari seorang sahabat. “Saya serius akan mencalonkan diri sebagai legislator di Senayan,” tegasnya begitu.

Tentu saya kagum dengan komitmennya dan pastinya saya memberi support. Kami sering berdiskusi ngalor-ngidul dengan kesimpulan: politik adalah sentral perubahan besar bagi bangsa dan negara.

Selama ini, sahabat saya ini adalah seorang professional di bidang psikologi. Karena akses informasi dan jaringannya semakin luas, maka peluang yang datang kepadanya juga sebagai banyak.

Tidak menutup kemungkinan hal ini juga Anda alami. Peluang baru semakin banyak seiring dengan bertambahnya pengalaman, kiprah, dan jaringan Anda.

Tentu semua orang tahu bahwa tidak ada peluang yang bisa dieksekusi dengan hanya komitmen. Butuh skill baru jika peluang itu menawarkan tantangan baru dengan benefit dan dampak yang lebih besar. “High risk high return,” kata sahabat saya.

Skill baru juga dibutuhkan jika kita hari ini terancam akan “dideportasi” ke tempat lain karena pendatang baru lebih jago dan lebih cocok dengan demand zaman.

Riset Bank Dunia mengungkap setidaknya 52% tenaga kerja Indonesia membutuhkan re-skilling (diberi skill baru) dan up-skilling (dinaikkan penguasaan skill-nya).

KECERDASAN HATI UNTUK PERFORMA DIRI

Ketika membahas kecerdasan hati, tidak berarti otak tidak penting. Ini keliru. Justru hati perlu dicerdaskan agar otak bisa bekerja makin optimal atau agar terjadi kerjasama yang makin sinergis antara hati (dada) dan otak (kepala).

Kenapa harus dimulai dari hati? Baik secara wahyu, ilmu, dan praktik manusia telah disimpulkan bahwa hatilah yang menjadi leader dalam pemerintahan jiwa dan raga (the ruling organ).

Bagaimana praktiknya dalam pembelajaran skill baru? Kita bisa menjalankan learning steps berikut:

Pertama, memperdalam self-understanding. Tingkatkan dialog hati untuk menambah pemahaman mengenai diri. “Walaupun Anda mengetahui banyak hal di dunia ini, tetapi jika Anda tidak mengetahui diri Anda, sama saja Anda tidak mengetahui apapun,” pesan orang bijak.

Pemahaman diri di sini mencakup, antara lain: apa target Anda, apa keunggulan Anda, apa peluang yang bisa Anda raih dengan kapasitas yang ada, apa problem Anda, dan skill apa yang benar-benar Anda butuhkan.

Sambil memegang dada, bukalah dialog penting tersebut. Jawabannya akan muncul di saat Anda seringkali tidak menyadarinya (fi ajalin musamma).

Dialog tersebut perlu diperluas dan diperdalam hingga mendapatkan pemahaman yang lebih komplit dan akurat mengenai diri secara internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (problem dan peluang).

Ilmu mengenai diri inilah yang sesungguhnya wajib dicari (fardlu ain), baik untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat. Khalifah Ali bin Abu Thalib menyebutnya sebagai ilmul hal (ilmu keadaan diri).

Oleh pakar psikologi dari Cornell University Amerika, Prof. R. Stenberg disebut sebagai the successful intelligence (kecerdasan untuk sukses). Kecerdasan ini bertumpu pada tiga kemampuan, yaitu: menganalisis keadaan, kreatif merespon keadaan, dan kemampuan mempraktikkan.

Kedua, menemukan metode yang cocok. Untuk orang dewasa, banyak model pembelajaran yang bisa dilakukan, tergantung skill-nya dan arenanya. Untuk skill baru yang mengandung keterampilan tinggi, orang dewasa umumnya sangat bagus menerapkan model 70:20:10.

Belajarlah dari praktik langsung (70%), belajarlah dari orang lain (20%) dan belajarlah teorinya secara otodidak atau dari kelas (10%). Tentu, angka ini bukan angka matematis, melainkan angka indikatif. Misalnya public speaking. Anda mau baca buku setebal 1000 halaman pun tidak mengubah Anda jika tidak dipraktikkan. Harus banyak praktik dan belajar ke orang.

Bagaimana kalau kandungan konseptualnya tinggi, misalnya membangun personal brand? Anda bisa menerapkan model formal learning (terprogram), informal learning (bebas), dan social learning (mentor dari para senior) secara seimbang.

Untuk menemukan metode yang cocok, biasanya intuisi hati berperan penting. Luangkan waktu untuk memanggil pengalaman masa lalu di keheningan. Intuisi hadir bisa dalam bentuk dorongan tertentu atau “aha” tertentu.

Ketiga, temukan kepastian. Semua orang tahu bahwa belajar skill itu bagus, tetapi yang lebih penting adalah menemukan kepastian bahwa skill yang Anda pelajari itu berdampak serius pada peningkatan performa.

Di sinilah dibutuhkan berpikir kritis. Supaya otak bisa bekerja dalam mempertanyakan efektivitas belajar, hati harus bening. Jika hati dikuasi oleh berbagai suara yang tidak penting, sulit seseorang mempertanyakan efektivitas kegiatannya. Al-Quran telah mengajarkan bahwa ciri orang beriman yang serius adalah kemampuannya dalam menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak penting (QS. al-Mukminuun: 3).

Dunia pendidikan kita sering menjadi sasaran protes karena gagal mempertanyakan hal mendasar: kenapa anak yang sudah duduk di bangku sekolah 16 tahun tapi malah jadi beban sosial karena menganggur? Ada apa? Yang salah anaknya, sekolahnya, atau sistemnya? Nasihat Einstain: the important thing is not to stop questioning.

Keempat, temukan panggilan hati tertinggi (purpose). Fakta di dunia dan hasil riset Harvard Business Review (HBR) mengarah pada kesimpulan yang sama bahwa yang berperan dominan bagi kiprah seseorang itu ternyata purpose, bukan passion (bakat, keunggulan, skill teknis, dst).

Purpose dalam hal ini adalah Anda menemukan jawaban dari pertanyaan hati: peranan besar apa yang optimal dapat saya lakukan untuk berkontribusi pada dunia ini yang dampkanya sampai ke akhirat?

Begitu Anda menemukan jawaban yang semakin dalam, semakin kuat, dan semakin bermakna, maka energinya semakin besar. Otak manusia akan memunculkan gelombang GAMMA ketika hatinya menemukan makna tertinggi. Dan ini akan membuat pembelajaran semakin dahsyat.

Inilah yang bisa menjelaskan kenapa Ki Hajar yang bukan doktor pendidikan menjadi tokoh pendidikan. Kenapa KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari yang bukan doktor leadership menjadi tokoh organisasi besar. Dan seterusnya dan seterusnya sampai ke para nabi.

Semoga bermanfaat.

Artikel

Honoris Causa Pesantren, Kenapa Tidak?

TRIBUNNEWS.COM – “Tepat di jam 10.35 WIB telah terjadi ledakan besar (big bang) di dunia pesantren. Sejak pesantren eksis di Nusantara sekitar 400 tahun lalu, baru kali ini ada terobosan begini.”

Seperti itu pesan tertulis yang dikirim ke saya dari salah seorang profesor yang hadir pada acara inagurasi doktor honoris causa pesantren.

Acara inagurasi sendiri bertempat di Ballroom hotel Aston Cirebon. Tak kurang dari 1.000 orang yang hadir memenuhi ballroom tersebut. Sengaja kami mengundang 58 kiai-kiai senior dari sejumlah pesantren, 17 akademisi dari kampus di Jakarta, Cirebon, dan Bandung, dan 100 profesional yang terdiri dari guru dan profesi lain. Sisanya adalah santri dan wali santri Pesantren Bina Insan Mulia. Kami juga mengundang 10 wartawan cetak, online, dan radio dari Jakarta, Cirebon, dan Bandung.

Penerima gelar honoris causa pesantren pertama adalah saudara Ubaydillah Anwar, seorang santri yang telah lama mengembangkan soft skills dan kecerdasan hati. Lahir dari keluarga pesantren salaf dan memulai nyantri di pesantren salaf di daerahnya, Ubaydillah kemudian meneruskan di Gontor hingga selesai KMI.

Dengan keterampilan menulis dan pidato yang didapat dari pesantren, Ubaydillah masuk ke dunia profesional dan industri lewat tulisan dan pidatonya di bidang pengembangan SDM, khususnya soft skills dan kecerdasan hati.

Tak butuh waktu lama, masyarakat profesional dan industri menerimanya dengan baik. Apalagi ditambah dengan keterampilannya dalam meramu konsep Islam yang didapat dari pesantren dan konsep barat yang didapat secara otodidak dengan modal bahasa Inggris.

Sejak 2004, ia telah menjadi associate trainer, counselor, dan speaker di sejumlah lembaga nasional dan internasional. Antara lain: Nestle Indonesia, ILO (International Labor Organization: Badan Urusan Perburuhan PBB), TrackOne, Gramedia Academy, Indonesia Entrepreneur Society, Data Group, Dibta Group Indonesia, Foster and Bridge Indonesia, dan forum-forum kajian keislaman.

Beberapa BUMN, lembaga pendidikan, dan perusahaan berskala besar, menengah dan kecil, telah mempercayai sebagai narasumber training, workshop, dan seminar. Antara lain: Udiklat PLN, Krakatau Steel, Lexus Indonesia, beberapa CorpU: Corporate University sejumlah BUMN, HERO, Universitas Pendidikan Indonesia, dan lain-lain.

Direktur Akademi Soft Skills Indonesia (ASSI) ini telah menulis lebih 45 buku dan lebih dari 1.000 artikel tentang soft skills dan kecerdasan hati yang telah diterbitkan oleh sejumlah media, baik online dan cetak, antara lain: Gramedia, SWA, Mizan, www.e-psikologi.com, www.sahabat.nestle.co.id, majalah Halal MUI, Gontor, dan lain-lain.

Ia juga dipercaya menjadi editor lebih dari 25 buku para tokoh di berbagai level di bidang keislaman, pendidikan, leadership, corporate learning, entrepreneurship, dan lain-lain.

Setelah berkiprah dengan karyanya di masyarakat profesional, industri, dan dunia pendidikan, barulah saudara Ubaydillah diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan profesionalnya di ICS Singapore, ILO (International Labor Organization) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Al-Jamiah Al-Arobiyah di Riyadh.

Dipercaya itu Lebih Tinggi daripada Diakui

Ada yang menarik ketika peristiwa itu menyebar di berbagai media nasional, baik di Tribunnews, Republika online, Kumparan, Kompasiana, FB, IG, dan jaringan WAG. Biasa, pro dan kontra terjadi.

Saya kemudian bertanya ke yang bersangkutan, siapa yang mengundang Anda pertama kali sebagai penerima gelar kehormatan tersebut? Ternyata yang mengundang pertama kali bukan kampus Islam atau pesantren, tetapi Universitas Atmajaya Jakarta, Fakultas Psikologi.

Seiring dengan perjalanan waktu, selama 4 tahun berjalan ternyata luar biasa dampaknya bagi kiprah yang bersangkutan di dunia profesional. Pelan namun pasti, sejumlah BUMN dan kantor kementerian mengundangnya sebagai narasumber yang disejajarkan dengan para doktor kampus. Misalnya di Bank Indonesia sebagai leadership observer, di Kementerian Agama sebagai narasumber pendidikan, dan lain-lain.

PT. Intipesan sebagai lembaga training dan seminar terdepan di Jakarta sering mengundang yang bersangkutan sebagai narasumber topik-topik pengembangan SDM bersama para doktor dari kampus, para dirut BUMN, dan para profesor di bidang manajamen. Demikian juga lembaga Foster and Bridge Indonesia sebagai lembaga training profesional kelas atas di Jakarta.

Saudara Ubayadillah dengan doktor honoris cuasa pesentren yang disandangnya tidak saja diminta mengajar mahasiswa S1 dan S2 di kampus-kampus. Beliau juga dipercaya menjadi panelis yang menguji kemampuan soft skills para kandidat dekan, wakil rektor dan direktur pasca sarjana Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang.

Memang kalau membaca ketentuan umum yang ada mengenai aturan penganugerahan gelar kehormatan doktor honoris causa, maka apa yang dilakukan oleh Pesantren Bina Insan Mulia terhadap saudara Ubaydillah Anwar tidak memenuhi persyaratan formal itu.

Namun, saya dan yang bersangkutan memahimanya bukan soal gelar dan prosedur formal. Ini soal sebuah proses perjuangan eksistensi pesantren, kaum santri, dan karya-karyanya di negeri tercinta. Gelarnya sendiri nomor ke sekian. Honoris causa pesantren bukan gelar formal, tapi lebih pada simbol perjuangan dan apresiasi eksistensi santri.

Demikian juga soal pengakuan formal. Tidak masalah juga apabila sekarang ini belum diakui. Kenapa? Pada hubungan antarmanusia dalam bentuk apapun, baik personal, profesional maupun institusional, yang tertinggi tingkatannya bukan diakui melainkan dipercaya.

“Hanya ketika seseorang telah percaya kepada Anda yang akan menjalin kerjasama dengan Anda,” demikian orang bijak berpesan. Jangankan dengan orang lain, dengan keluarga sendiri atau bahkan dengan anak sendiri, seseorang tidak akan menyerahkan urusan atau mau untuk bekerjasama apabila kepercayaan (trust) itu belum ada.

Doktor honoris causa pesantren memang tidak diakui kini, tetapi praktik saudara Ubaydillah Anwar membuktikan bahwa yang mempercayainya semakin banyak.

Di masyarakat kita terdapat alumni pesantren yang secara kesalehan dan kompetensi sangat kuat untuk bisa dipercaya di bidang keilmuan tertentu, sayangnya yang selama ini memberi gelar doktor honoris causa maupun professor justru dari lembaga luar negeri.

Idham Chalid adalah santri yang mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar Kairo Tahun 1957. Demikian juga dengan Buya Hamka yang pada tahun 1959 menerima gelar doktor honoris causa juga dari Al-Azhar.

KH. Abdul Ghofur, Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan mendapatkan gelar doktor kehormatan (honouris causa) di bidang ekonomi kerakyatan dari American Institute of Management Hawaii, Tahun 2007. Yang lebih mengagetkan adalah honoris causa yang diterima Gus Dur. Menurut catatan NU, Gus Dur menerima gelar kehormatan doktor honoris causa lebih dari enam kali dan itu dari luar negeri semua.

Kenapa Gelar Kehormatan itu Diperlukan?

Banyak yang bilang bahwa saya ini nekat. Saya akui memang begitu. Tapi yang tidak banyak diketahui orang adalah kenapa saya sampai nekat demikian? Ada yang bilang saya hanya cari sensasi saja. Tak bisa saya tolak bahwa akibat dari langkah itu memang sensasi, tapi motivasi saya bukan untuk sensasi.

Beberapa poin memang sudah saya jelaskan di acara tersebut, tapi saya ingin mempertegas lagi di sini kenapa penghargaan kepada alumni pesantren di bidang keilmuan dalam bentuk gelar itu penting dilakukan? Soal namanya honoris causa atau yang lain, itu terserah masing-masing atau terserah mekanisme di internal pesantren.

Ada tiga alasan penting yang perlu saya jelaskan di sini.

Kita lihat berbagai perkumpulan profesional di dunia hari ini sedang giat mengadakan sertifikasi kompetensi di bidangnya masing-masing. Misalnya di ekonomi syariah, IT, akuntansi, dosen mata kuliah tertentu, konstruksi, dan seterusnya.

Sertifikasi kompetensi semakin luas digalakkan, apalagi di zaman digital ini karena ada kecenderungan di masyarakat industri dan profesional bahwa akurasi sertifikasi tersebut lebih tinggi daripada ijazah akademik. Kenapa akurasinya diyakini lebih tinggi? Simpel jawabannya. Yang menentukan nilai seseorang di sertifikasi tersebut bukan semata ujian tertulis seperti di kampus, tetapi karya dan bukti prestasi yang telah dicapai.

Bahkan ke depan, karena akurasinya dinilai lebih tinggi maka wibawanya pun lebih tinggi. Seorang santri bertamu ke saya. Ternyata ia bekerja di sebuah perusahaan IT dunia milik China di Jakarta. Saya tanya kok bisa santri bisa bekerja di sana? Dia jawab, yang ditanya bukan ijazah, tapi kompetensi kerja.

Fakta-fakta di dunia profesional menunjukkan bahwa seseorang yang punya nilai akademik ekselen di bidang tertentu tapi begitu diuji-coba di lapangan, tidak muncul buktinya. Kenapa? Seringkali standar akademik ketinggalan dengan standar profesional yang terus mengikuti perubahan dengan cepat. Di samping itu, namanya di kampus, dasar penilaiannya adalah jawaban tertulis. Itupun banyak yang melakukan plagiarisme, comot sana comot sini, kutip sana kutip sini.

Selain itu, ada gelombang yang tidak bisa dibendung oleh siapa pun hari ini bahwa untuk mendapatkan ijazah akademik semakin mudah dan semakin murah biayanya. Di hampir semua negara telah memberikan layanan pendidikan online yang memungkinkan seseorang mendapatkan ijazah dengan mudah dan biaya yang lebih murah. Ini memang tidak bisa digeneralisasikan ke semua orang. Tapi memang fakta itu ada dan semakin jamak ke depan.

Artinya apa bagi kita? Penganugerahan doktor honoris causa pesantren itu adalah sebuah sertifikasi kompetensi yang diberikan kepada alumni pesantren di bidang keilmuan tertentu dan itu in sya’a allah kualitasnya akurat, bukan abal-abal atau kaleng-kaleng.

Ke depan, jika alumni pesantren yang telah berkarya itu mendapatkan sertifikasi kompetensi dari perkumpulan pesantren, masyarakat akan lebih percaya dan nilainya jauh lebih tinggi.

Sekarang saya tanya, lebih kredibel dan lebih akurat mana sertifikasi kompetensi di bidang nahwu shorof, misalnya begitu, yang diberikan oleh pesantren dengan yang diberikan oleh fakultas bahasa Arab perguruan tinggi di Indonesia? Semua tahu jawabannya.

Sertifikasi kompetensi juga akan mengikis fenomena ustadz atau da’i dadakan. Banyak yang sekarang terjun di bidang dakwah Islam tapi modalnya motivasi dan belajar dari youtube atau internet. Dasar materinya adalah folk wisdom (hikmah kelas awam) dan common sense (logika umum). Jangankan soal penguasaan fiqih-ushul fiqihnya, urusan makhroj membaca al-Quran saja belum beres. Ini kenyataan bukan?

Yang menjadi masalah hari ini adalah justru lulusan pesantren diberi sertifikasi kompetensi oleh kelompok atau lembaga non-pesantren di bidang keislaman. Ini kiamat sughro buat pesantren. Kenapa? Kemungkinan terjadi like and dislike atau pertimbangan aspek politik menjadi utama. Mau khutbah saja ada batasan ini dan itu. Padahal yang harus kita tegakkan adalah standar keilmuan.

Iklan untuk Anda: Lakukan kebiasaan ini, tekan Diabetes!
Advertisement by
Dua, sebagai apresiasi karya dan eksistensi.

Tradisi memberi apresiasi di dunia Islam itu sudah ada sejak dulu sehingga muncul sebutan al-imam, al-‘alim, al-‘allamah, al-hafidz, asy-syaikh, dan khujjatul Islam untuk al-Ghazali.

Bahkan sebelum pesantren memiliki pendidikan formal seperti sekarang, tradisi penganugerahan gelar pun jamak dilakukan para kiai kepada para tokoh. Oleh para kiai NU, Soekarno diberi gelar sang Waliyyul Amri Ad-Dharuri bi As-Syaukah, sosok pemimpin yang kompeten dan tangguh.

Tidak hanya pesantren, kerajaan dan kesultanan nusantara pun kerap memberikan gelar sebagai apresiasi di bidang tertentu. Pakoe Boewono XII memberikan gelar kehormatan Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) kepada Gus Dur. Beliau dinilai sebagai tokoh agama yang humanis dan punya kepedulian tinggi terhadap budaya daerah.

Apresiasi terhadap karya seseorang di berbagai bidang atau terhadap kebesaran kiprah seorang tokoh menjadi salah satu ciri ketinggian peradaban di bangsa itu. Coba kita lihat sejarah. Kenapa tokoh seperti Abu Nawas itu mendapatkan tempat yang begitu elegan di masa Harun Al-Rasyid? Itu merupakan bukti tingginya peradaban.

Negara-negara yang pernah tinggi peradabannya mempunyai bukti museum, karya para tokoh, bangunan yang bagus, dan seterusnya. Perbincangan manusia di berbagai tempat, dari warung kopi, masjid, gereja, gedung, sekolah, dan lain-lain adalah ide, konsep, dan inovasi. Maka sepertinya agak pas jika ada ungkapan yang mengatakan begini: “Orang kelas atas berbicara ide, orang kelas menengah berbicara peristiwa, dan orang kelas bawah berbicara tentang orang lain.”

Bangsa dengan peradaban rendah, boro-boro menghargai karya. Dikasih buku saja belum tentu dibaca. Diamanati untuk menjaga warisan karya masa lalu saja tidak terurus. Dikasih fasilitas pendidikan gratis pun belum tentu disambut optimal. Mereka berbicara soal kemewahan artis. Tentang bagaimana masuk surga tanpa ilmu, tanpa kerja, dan tanpa karya. Tentang kekayaan orang lain. Tentang bagaimana saling mengalahkan orang lain.

Tiga, sebagai motivasi bagi generasi santri berikutnya.

Motivasi ini bukan untuk yang bersangkutan hari ini. Semua santri sudah mengerti bahwa berkarya itu tujuannya untuk dunia akhirat. Sehingga mereka itu diberi gelar atau tidak, sebetulnya tidak begitu berpengaruh terhadap motivasinya.

Apalagi para santri itu mendapatkan contoh langsung dari para kiainya. Kiai menggunakan tanahnya, rumahnya, sawahnya dan apa yang dimiliki untuk para santri.

Zaman dulu, hampir tidak ada santri yang terkena charge (bayaran) pendidikan. Sekarang ini charge dibutuhkan untuk kepentingan santri langsung dan untuk kelangsungan pendidikan.

Motivasi itu dibutuhkan justru untuk para santri di generasi berikutnya. Jika mereka menyaksikan bahwa para pendahulunya telah mampu sampai pada prestasi tertentu, maka hati mereka akan menggerakkan pikiran dan raganya untuk mencapai yang sama atau yang melebihi.

Misalnya, setelah terbukti bahwa saudara Ubaydillah Anwar mampu eksis dalam pengembangan soft skills dan kecerdasan hati di industri, masyarakat profesional dan di pendidikan Indonesia, saya yakin nanti akan ada generasi santri berikut yang akan meniru langkahnya atau punya langkah lain yang lebih bagus atau yang lebih besar.

Kita tidak tahu bagaimana susahnya dulu menemukan metode membaca kitab kuning seperti yang sudah diajarkan di pesantren-pesantren hari ini. Awalnya itu tidak terbayangkan, bagaimana kalimat dalam bahasa Arab lalu dimaknai sekaligus ditentukan posisi tata bahasanya. Ini temuan keilmuan yang luar biasa. Begitu sudah ditemukan, semua menjadi mudah untuk dipelajari.

Seratus tahun lalu, mungkin hanya Gontor yang mengajarkan bahasa Arab dan Inggris dalam pesantren. Tapi begitu sudah ditemukan metodenya, polanya, dan caranya, sekarang ini dimana-mana sudah ada lembaga yang mengajarkan dua bahasa itu. Bahkan ada yang tiga bahasa atau empat bahasa sekaligus.

Itulah contoh dari bagaimana social learning bekerja. Social learning adalah bagaimana seseorang belajar dari orang lain lalu menerapkan ke dirinya. Social learning ini bekerja di tingkat pribadi, kelompok, umat atau bangsa. Riset-riset di pendidikan dan psikologi menemukan fakta bahwa social learning adalah cara belajar orang dewasa yang sangat efektif, bahkan lebih efektif dari class room learning untuk materi keterampilan.

Pendidikan Pesantren dan Soft Skills

Untuk mendapatkan hasil yang bagus pada semua pekerjaan di dunia ini, maka perlu penerapan hard skills dan soft skills. Ini berlaku pada pak sopir becak, dirut BUMN, dosen, atau guru, dan seterusnya. Mana yang hard skills dan mana yang soft skills?

Hard skill pada sopir angkot adalah kemampuannya dalam menjalankan angkot, paham aturan di jalan raya, paham memperbaiki angkot itu kalau rusak. Sedangkan soft skill-nya adalah kesungguhannya dalam menjalani profesi itu, kreativitasnya kalau sedang sepi, kemampuannya untuk menjaga pelanggan, dan semisalnya.

Hard skill seorang guru adalah memahami langkah-langkah mengajar dari mulai masuk kelas sampai selesai, memahami materi yang diajarkan, mampu membuat soal ujian, dan mampu membuat penilaian. Sedangkan soft skill-nya adalah cintanya pada profesi tersebut, keikhlasannya, kreativitasnya, dedikasinya, amanahnya, dan seterusnya.

Bahkan kalau boleh untuk sekadar menggambarkan, dalam shalat pun ada kegiatan yang bisa disebut sebagai hard skill dan soft skill. Hard skill-nya adalah kemampuan menerapkan prosedur fiqih dari mulai takbirotul ihrom sampai salam.

Sedangkan soft skill-nya adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan akhlak setelah shalat dan kemampuannya untuk menghadirkan Allah dalam hati (akidah), baik di dalam maupun di luar shalat.

Hard skills adalah keahlian teknis dan akademis. Sedangkan soft skills adalah kualitas seseorang dalam mengembangkan diri, menjalin hubungan dengan sesama, dan kepemimpinan. Misalnya, menjaga emosi, terus belajar, kerjasama, berkomunikasi, ketajaman tujuan, kreativitas, kesabaran, dan seterusnya.

Empat sifat wajib Rasul yang kita kenal, yaitu Sidik, Amanah, Tabligh, dan Fathonah masuk dalam soft skills utama (core skill) yang berlaku di seluruh dunia. Kunci sukses berkarier di bidang apapun, tidak mungkin meninggalkan salah satu dari empat itu.

Jika kedua keahlian tersebut sangat penting untuk mendapatkan hasil yang bagus, lalu mana yang sangat menentukan peranannya? Baik riset dan praktik membuktikan bahwa 70% kesuksesan pekerjaan dimainkan oleh soft skills seseorang. Walupun seseorang sudah ahli di bidang tertentu, tapi jika hati dan pikirannya error, misalnya dengki, stres, ogah-ogahan atau marah, sudah pasti hasilnya akan kurang bagus.

Mau shalat seribu rakaat pun, namun jika tidak didukung dengan ilmu untuk mengaktifkan hati dan pikiran agar menghasilkan kedekatan dan akhlak, tetap saja oleh al-Quran disebut pendusta agama. Meski demikian, mengerjakan shalat sesuai prosedur fiqih tetaplah wajib.

Pesantren sebenarnya gudangnya soft skills. Contoh yang sederhana adalah public speaking atau komunikasi publik Di luar pesantren, kegiatan itu berbayar tinggi. Apalagi jika yang menjadi mentornya artis atau orang terkenal, seperti Helmi Yahya, Tontowi Yahya, atau Najwa Shihab. Tapi di pesantren, kegiatan public speaking gratis dan boleh berlatih terus menerus. Hampir setiap pesantren hari ini punya program latihan pidato.

Cuma di sini yang perlu menjadi catatan adalah bahwa hampir seluruh kegiatan pengasahan soft skills di pesantren itu masih berjalan alami, alias belum tersentuh oleh konsep sains dan standar kompetensi profesional. Banyak santri yang dulu jago pidato tapi di luar berhenti. Banyak yang bagus leadership-nya namun di luar tidak demikian.

Kenapa? Jawabannya adalah pengetahuan. Dengan pengetahuan maka seseorang punya banyak pilihan. Tanpa pengetahuan, seorang anak petani hanya berani bercita-cita menjadi petani seperti orangtuanya. Tapi dengan pengetahuan, ia punya banyak pilihan.

Di sinilah pesantren butuh pengetahuan baru dari kegiatan soft skills yang sudah dijalani para santri supaya mereka punya banyak pilihan.

Without the BoX Thinking adalah rubrik khusus di tribunnews.com di kanal Tribunner. berisi artikel tentang respon pendidikan Islam, khususnya pesantren terhadap perubahan zaman dan paparan best practices sebagai bahan sharing dan learning di Pesantren Bina Insan Mulia. Seluruh artikel ditulis oleh KH. Imam Jazuli, Lc, MA dan akan segera diterbitkan dalam bentuk buku. Selamat membaca.

*Penulis adalah Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 Cirebon. Pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; juga alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; dan alumnus Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies.*

link : https://www.tribunnews.com/tribunners/2022/02/23/honoris-causa-pesantren-kenapa-tidak

Artikel

MEMBEDAKAN HATI, HATI ROHANI, DAN HATI LIVER MANA YANG LEBIH MENENTUKAN: OTAK ATAU HATI?

Serial Kecerdasan Hati

MEMBEDAKAN HATI, HATI ROHANI, DAN HATI LIVER
MANA YANG LEBIH MENENTUKAN: OTAK ATAU HATI?

Dalam berbagai kesempatan, kerap saya ditanya mana yang sebenarnya disebut hati itu. Tentu semua orang berdasarkan latar belakang masing-masing dapat menyajikan penjelasan yang berbeda-beda.

Apalagi jika dikaitkan dengan organ lain yang sangat inti bagi manusia, yaitu otak. MIsalnya ketika ditanya, manakah yang menentukan langkah manusia: hatikah atau otakkah?

Jujur, saya sendiri tidak memiliki pengetahuan faktual mengenai hal itu. Saya belum pernah melihat bagaimana jantung dibedah atau hati liver dibedah dan diteliti bagaimana cara kerjanya. Lebih-lebih soal otak.

Tapi berdasarkan keterangan a) kitab suci (al-Quran), b) ajaran para nabi, c) spiritual discovery oleh orang-orang arif melalui kitab-kitabnya, d) riset ilmiah para ilmuwan mutakhir, dan e) praktik manusia melalui artifak yang ada, dapat saya jelaskan sebagi berikut.

Pertama, baik dalam bahasa Inggris (heart) atau dalam bahasa Arab (qolbun atau qulubun atau kalbu), artinya adalah jantung di bagian kiri dada manusia. Meski demikian, heart sendiri diterjemahkan dengan hati dan begitu juga qolbun atau qulubun yang diterjemahkan juga dengan hati/kalbu.

Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa khusus orang Indonesia, hati itu bisa berarti tiga, yaitu: a) jantung, b) hati rohani, dan c) hati liver. Bagiamana itu bisa terjadi memang belum disepakati asal-asulnya.

Kedua, berbicara soal hati dalam kajian ilmu pengetahuan, spiritualitas, agama, dan praktik hidup, hati punya dua jenis, yaitu hati fisik (jantung) dan hati rohani (qalbu). Hati rohani bersemayam di hati fisik yang tidak kelihatan tetapi semua praktik menusia telah diberi pemahaman bahwa di dalam dirinya ada hati yang tidak kelihatan, yang itu bukan jantung, tetapi hati rohani.

Riset para ahli di Heartmarth Institute terhadap jantung (hati fisik) menyimpulkan bahwa hati adalah organ utama penentu kinerja otak (global coordinator), penjaga keseimbangan body and mind, sumber perasaan, emosi, kesadaran, bahkan intuisi.

Dalam jantung, menurut riset mereka, terdapat benda kecil yang disbeut heart brain (otak hati) yang bekerja secara mandiri: melakukan learning, memorizing, sensing, dan seterusnya. Riset mengungkap bahwa hatilah yang paling sering berkomunikasi ke otak, bukan sebaliknya.

Kemampuan hati (jantung) meradiasi gelombang elektromagnetik dan enegi jauh lebih kuat ketimbang otak. Mereka menemukan bahwa ketika da orang yang sedang marah di satu tempat, amarah dari hati itu mempengaruhi orang lain dalam radius sekian meter.

Hampir semua penjelasan riset di atas boleh dikatakan tidak bertentangan dengan spiritual discovery orang-orang arif yang tela menjelaskan hati (qulub) di buku-buku klasiknya sekitar di atas 1000 tahun lalu. Ini bisa dibaca di karya Ali bin Abu Thalib (Khalifak ke-IV), Al-GHazali, atau Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah.

Semua menyimpulkan bahwa hatilah yang menentukan hakikat manusia. Hatilah raja dalam pemerintahan jiwa. Hatilah yang menentu kerja seluruh anggota tubuh (jasmani dan rohani). Bedanya, orang-orang arif menjadikan hati rohani sebagai objek bahasannya, sementara para ilmuwan barat menjadikan jantung sebagai objek risetnya.

Nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi lain juga sudah berbicara mengenai hati. Nabi Muhammad pernah berbicara mengenai hati fisik (jantung atau segumpal daging/darah) yang menyebut sebagai penentu kesehatan manusia.

Nabi Muhammad juga menjelaskan bahwa yang menentukan kualitas amal manusia di mata Tuhan itu bukan jenis amalnya, tetapi kualitas hatinya (hati rohani, mislanya ikhlas atau tidak ikhlas, dst).

Nabi Musa diceritakan ketika hendak menghadap Fir’aun meminta kepada Tuhan agar diberikan kelapangan dadanya (hati). Dan masih banyak keterangan soal hati dari para nabi.

Dalam hitungan saya, al-Quran menyebut kata hati dalam 4 kata di sekitar 230 tempat, yaitu dada/hati fisik (shudurun), qolbun (hati rohani), fuad (hati kecil, biasanya begitu diterjemahkan), dan albab (hati yang paling dalam/.wisdom).

Semua penjelasan hati dalam al-Quran mengarah pada hati rohani, yang menjadi penentu hakikat manusia, penentu kinerja otak, tempat dimana cahaya Tuhan dan kegelapan iblis bersemayaman.

Semua peradaban manusia sepertinya telah memahami dua makhluk hati ini melalui artefak bahasa, katakanlah ada yang berpesan cintailah pekerjaanmu dengan segenap hatimu. Kita semua tahu pasti bukan dengan jantung (hati fisik) tetapi hati rohani. Sakit hati yang secara reflek memegang dada. Pasti bukan jantungnya (hati fisik) tapi hati rohani.

Demikian mudah-mudahan bisa menambah penjelasan yang ada. Terima kasih.

Ubaydillah Anwar
Heart Intelligence Specialist

Artikel

Serial Kecerdasan Hati – KENAPA “HATIMU ADALAH HAKIKATMU”? APA BUKTI-BUKTINYA?

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence Specialist

“Hatimu adalah hakikatmu,” demikian temuan spiritual (mukasyafah) orang-orang arif. Sebab, hati adalah raja dalam pemerintahan jiwa (al-malik).

Temuan ini juga sinkron dengan hasil riset ilmuwan mutakhir (HeartMath: 1995) yang mengungkap bukti-bukti bahwa hati fisik (jantung) adalah global coordinator (koordinator jiwa dan raga manusia).

Peradaban Barat menyebut hati sebagai tempat singgasana esensi manusia yang disebut ‘being’ sehingga hanya manusia yang punya hatilah yang disebut human being (pada dasarnya).

Terkait dengan bukti-bukti, mari kita mulai dari yang paling besar (makro).

Negara dengan pemerintah di dalamnya dibentuk untuk melindungi yang kecil supaya tidak dicaplok oleh yang besar. Juga untuk memberikan ruang berprestasi kepada orang-orang yang benar dan sungguh-sungguh. Dan juga untuk menghukum orang-orang yang jahat.

Tapi di tangan orang yang hatinya gelap dan keliru, aturan negara dan pemerintah justru dipakai untuk yang sebaliknya. Yang kuat malah semakin membabi buta. Aturan bisa disetir. Orang-orang yang benar dan sungguh-sungguh seringkali malah kalah oleh orang yang jahat. Jadi, hati adalah hakikat manusia.

Pabrik obat dan ilmu kedokteran pun sama. Di tangan hati yang jernih dan lurus, keduanya adalah solusi bagi kemanusiaan. Tapi di tangan hati yang gelap dan keliru, kedunya adalah bencana. Pabrik obat dapat digunakan untuk menciptakan ketergantungan manusia kepada obat, alias supaya sakit terus. Jadi, hati adalah hakikat manusia.

Media sosial pun sama. Di tangan hati yang jernih dan lurus, media adalah perekat sosial. Tapi di tangan hati yang gelap dan keliru, media sosial justru menciptakan keadaan yang anti-sosial. Orang bisa menghina dan meng-olok-olok orang lain semau-maunya.

Semua perintah agama yang pasti benarnya dan pasti baiknya jika dijalankan oleh hati yang keliru dan gelap, akan menimbulkan hasil yang salah dan bermasalah. Jama’ah tapi isinya malah pertengkaran.

Ketika ajaran agama diolah menjadi energi untuk berkreasi dan inovasi, hasilnya adalah karya peradaban yang luar biasa. Tapi jika diolah menjadi muatan nafsu, pelarian, dan anti ilmu, justru hasilnya kerap destruktif (merusak kehidupan).

Ini semua tergantung hati. Jadi, hati bagi manusia adalah hakikatnya.

Semoga bermanfaat.

Artikel

MENUNDUKKAN NAFSU WORKAHOLIC DENGAN KECERDASAN HATI

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT.
Heart Intelligence Specialist

Ketika saya memulai kerja dulu, antara tahun 1995-2000, saya dipertemukan dengan pimpinan yang top. Pagi jam 7.00 sudah di kantor untuk belajar bahasa Inggris dengan kawan saya. Pak bos ingin melakukan ekspansi usaha di Eropa dan Amerika.

Malam hari, meski tidak rutin, ada seorang guru privat agama yang didatangkan. Siangnya di jam kerja, waktunya total digunakan untuk mengurusi orang-orangnya, usahanya, dan mitranya di Timur Tengah.

Banyak pegawai yang mengkhawatirkan bahwa bosnya telah mengalami keranjingan kerja (workaholic). Tapi setelah saya baca di beberapa literur, ternyata tidak semudah itu untuk disebut keranjingan. Kesimpulan tidak bisa diambil dari kenyataan.

Ada perbedaan antara keranjingan kerja dan kerja keras (work engagement). Membedakannya lebih sulit lagi sekarang. Sebab, hampir semua orang dapat bekerja kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja. Kemajuan teknologi komunikasi telah mengacauan tatanan kerja.

Ciri-ciri Keranjingan Kerja

  • Secara mendasar, keranjingan kerja mengandung unsur compulsive dan addictive. Artinya, ada tekanan, paksaan, dan sensasi rasa ”asyik” untuk terus bekerja/beraktivitas. Sejumlah riset menyimpulkan bahwa orang yang terkena keranjingan kerja memiliki ciri-ciri berikut:
  • Mengabaikan hal-hal lain yang penting dalam hidup manusia secara umum. Misalnya kesehatan, penampilan, atau keluarga. Mereka kehilangan kesadaran untuk menciptakan keseimbangan.
  • Tidak mampu mendelegasikan urusan kerja kepada orang lain pada porsi dan keharusan tertentu atau tidak pernah mempercayai orang lain.
  • Mereka hanya asyik dengan pekerjaan, tetapi tidak jelas apa yang ingin diraih dengan pekerjaannya itu. Thomas Edison berpesan, ”Jangan hanya sibuk di pekerjaan. Bertanyalah apa tujuan Anda.”
  • Yang menjadi top priority di kepalanya dimanapun berada adalah urusan pekerjaan, termasuk di kamar.
  • Tidak memiliki ketertarikan di bidang lain yang dibutuhkan oleh hidupnya, seperti membaca, hiburan, atau kegiatan pengembangan yang lain.

Banyak pemicu eksternal dan internal kenapa keranjingan hadir. Pekerjaan atau aktivitas yang kita jadikan pelarian dari persoalan di tempat lain juga bisa menjadi pemicu. Problem ekonomi, konflik di tempat kerja, atau bahkan ketidakpuasan kerja dapat memicu workaholic.

Dari sisi internal, orang yang terkena workaholic umumnya mengembangkan minus motivation (lawan dari plus motivation). Motivasi minus adalah motivasi yang digerakkan (driven) oleh dorongan negatif.

Misalnya, Anda bekerja mati-matian karena dendam, amarah, atau supaya bisa menjajah orang banyak ketika nanti sudah punya kekuasaan dan kekayaan. Kerakusan kerap menjadi motivasi minus yag sangat perkasa. Orang melakukan korupsi dan kerja mati-matian sampai lupa daratan seringkali bukan mereka yang kekurangan materi. Mereka melakukan itu karena dikuasai motivasi minus.

Sejumlah hasil riset menemukan motivasi menjadi faktor penting (Workaholism: It’s not just long hours on the job, APA [American Psychology Association], 2016). Pekerja keras digerakkan oleh motivasi intrinsik (motivasi plus) untuk bekerja karena tujuan yang positif. Sedangkan workaholic digerakkan oleh tekanan dari dalam (stressor atau motivasi minus) untuk bekerja.

Singkatnya, pemicunya sangat beragam. Tapi penentunya cukup jelas: kemampuan mengontrol diri, mengontrol keseimbangan, dan evaluasi diri. Seluruh kemampuan ini dalam bahasa agama disebut takwa (kemampuan menjaga diri).

Takwa yang diperintahkan bukan sebatas menaati perintah Tuhan yang tertulis (syar’iyah). Ini terlalu sempit. Semakin terlalu sempit lagi ketika takwa hanya dibatasi pada pelaksanaan ibadah formal.

Sebab takwa juga pasti dituntut pada ketaatan kita terhadap hukum Tuhan yang sifatnya kauniyah (sebab-akibat alamiyah) yang terungkap oleh pengalaman manusia, temuan sains dan teknologi.

Mengoptimalkan Kecerdasan Hati

Kecerdasan hati seseorang dapat naik dan turun, seperti juga sifat hati yang mudah berubah. Karena hati adalah raja dalam pemerintahan jiwa (global coordinator) maka ketika kecerdasannya turun, pasti anggota yang lain kacau. Bisa bekerja sendiri-sendiri, melawan kehendak hati, atau dorongannya lemah.

Supaya hati cerdas, dibutuhkan keharmonisan di dalamnya, dibutuhkan sinergi dengan yang lain, dan dibutuhkan kesiapan untuk menerima cahaya ilahi.

Apa sumber keharmonisan di hati? Ketika hati melakukan apresiasi-apresiasi rahasia, maka secara otomatis muncul keharmonisan. Temukan kebaikan, kelebihan, keistimewaan, dan keajaiban dari hidup Anda, lingkungan, orang-orang sekitar Anda, lalu Anda diam-diam menyimpulkannya dengan kalimat apresiatif di hati (misalnya al-hamdulillah), maka saat itu juga ada keharmonisan.

Karena hidup tidak cukup dengan hanya harmonis, maka hati perlu disinergikan dengan otak. Keduanya adalah mesin raksasa ketika keduanya bersinergi. Sinergi bisa diciptakan dengan merumuskan tujuan yang jelas (goal) dari aktivitas lalu diperjuangkan sampai total.

Hati akan selalu siap menerima cahaya ilahi ketika masih muncul dorongan untuk berubah, mencapai yang lebih tinggi, lebih baik, atau lebih yang lain. Caranya adalah memasukkan ilmu ke dalam hati, baik bersumber dari bacaan, pengalaman, pergaulan, atau renungan.

Sebaliknya, hati akan mati ketika sudah menutup pencerahan, perubahan, dan perbaikan. Hati yang mati itu disebut hati yang mem-batu (qosiyatul qulub).

Apa hubungannya dengan workaholic? Hasil riset HeartMath Institute menyimpulkan ketika hati cerdas, seseorang memiliki kekuatan yang super untuk mengontrol dirinya. Intuisinya menyala dengan baik sehingga cepat sadar mengenai langkahnya (Science of the Heart: 2015).

Cahaya Ilahi juga lebih powerful meng-guide dirinya dengan larangan dan perintah yang muncul dari hati (wa’idzon wa zajiron). Otak pun bekerja secara prima sehingga cepat bertanya mengenai tujuan dari aktivitasnya (mubshirun). Semoga bermanfaat.

Artikel

Serial Kecerdasan Hati – RESOLUSI 2022: STOP MEMBURU KEBAHAGIAAN!

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

Kebahagian kerap dijadikan sasaran resolusi di tahun baru. “Di tahun 2022 nanti, aku tidak ingin apa-apa. Tidak ingin kaya atau terkenal. I just want to be happy,” tulis seseorang di wall facebook-nya.

Meski menjadi ‘barang’ buruan banyak orang sejak tahun 1973—demikian menurut riset di psikologi—tapi Tuhan tidak menyuruh kita mencari kebahagiaan. Kita hanya diperintahkan untuk menjalankan perintah yang hasilnya pasti bahagia. Misalnya syukur, ridlo, atau optimistik, dst.

Artinya, kebahagiaan adalah akibat. Namanya akibat, pasti ia datang secara pasti tanpa dicari. Study para ahli menyimpulkan bahwa sebagian besar faktor penentu kebahagiaan adalah pilihan sikap internal. Karena itu, ada petuah bijak yang mengingatkan: hanya orang bodoh yang memburu kebahagiaan di luar sana, apalagi mahal pula biayanya.

Bahkan ada anekdot di grup WA yang saya ikuti. Seorang lelaki setengah baya di pagi hari menyeruput secangkir kopi hitam. Lalu diikuti dengan hisapan demi hisapan rokok kretek. Dan puncaknya, dari mulut laki-laki itu keluar ucapan: alhamdulillah, mudahnya bahagia di Indonesia.

EMPAT CIRI UTAMA KEHIDUPAN BERMAKNA

Sejatinya, berproses untuk menjadi orang yang bermaka adalah perintah untuk kita, sekaligus panggilan hati kita (inner call), dan kendaraan manusia untuk bahagia. Artinya, bermakna lebih tinggi derajatnya ketimbang bahagia.
Orang yang menjalani hidup bermakna pasti ujungnya bahagia, meskipun prosesnya terkadang penuh derita. Seperti apa kehidupan yang bermakna itu? Ada empat ciri utama kehidupan bermakna yang dapat kita jadikan resolusi sesuai kadar kita.

Pertama, orang akan merasakan hidupnya bermakna apabila ia memperjuangkan tujuan-tujuan yang besar, tinggi, atau yang sangat berarti baginya. “Kembali menjadi dosen adalah pilihan yang sangat berarti bagi saya setelah pensiun,” kata sahabat saya. Artinya, resolusi harus berangkat dari tujuan yang besar, tinggi, atau yang berarti.

Kedua, seseorang akan merasakan hidupnya bermakna apabila kehadirannya punya signifikansi bagi orang lain. Maksud signifikansi di sini bukan “merasa penting semata” atau “sok penting” tetapi bermanfaat karena kontribusi yang diberikan.

Rasulullah SAW menjelaskan, “Tangan di atas (selalu) lebih baik dari tangan di bawah,” (HR. Bukhori Muslim). Al-Quran menyebut sebagai “pemberi pinjaman kepada Allah” untuk orang yang mau berbuat baik dan bermanfaat bagi orang banyak.

Bahkan menurut laporan jurnal Positive Psychology, Standford University, 2014, signifikansi inilah yang membedakan orang bermakna dan orang bahagia. Bermakn berarti a giver (memberi), sedangkan berbahagia berarti a taker (mengambil).

Ketiga, orang akan merasakan hidupnya bermakna apabila ia memiliki kedaulatan diri yang kuat. Maksudnya, ia mampu mengambil keputusan penting berdasarkan pilihan-pilihan yang baik (ikhtiyar). Ia mukallaf (responsible) yang proaktif.

Tanpa disadari, banyak orang yang menyerahkan kedaulatan dirinya kepada orang lain atau kepada keadaan dengan mengatakan: hidup saya hancur dan begini jadinya karena si dia atau semisalnya. “Si dia” telah diangkat sebagai penguasa jiwa. Semakin sering kedaulatan itu diserahkan, semakin hampalah makna dalam jiwa itu.

Dalam al-Quran, kedaulatan diri adalah ciri kecerdasan hati tingkat tinggi (ulul albab). “ . . serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik,” (QS. Ar-Ra’du: 22).

Keempat, orang akan merasakan hidupnya bermakna apabila mampu memenangkan prinsip kebenaran ketika berhadapan dengan godaan. “Aku bahagia karena telah menjadi jujur,” kata Halimah, seorang petugas bandara Soetta yang melaporkan temuan cek miliaran kepada kantornya. “Merdeka atau mati,” semboyan pejuang kita dulu.

Berprinsip akan membuat seseorang pasti bermakna dan bahagia, asalkan berpijak di atas ajaran kebenaran. Tapi jika pijakannya di atas “benar sendiri” atau “menang sendiri” pasti ujungnya sengsara dan hampa makna.
Agar kebermaknaan dan kebahagiaan itu abadi (al-falah), al-Quran memberikan bocoran agar nawaitu dalam hati kita saat melakukan empat hal di atas menghadirkan “lillahi ta’ala”.

Home
Profile
Shop
Contact Us