Akademi Soft Skills Indonesia

News

Artikel

KAPAN SAAT YANG TEPAT UNTUK MECAT?

Serial Kecerdasan Hati

 

KAPAN SAAT YANG TEPAT UNTUK MECAT?

 

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

 

 

Selama menjadi pegawai dulu, saya adalah orang yang pernah mengikuti dua tipe atasan yang kontras. Ada yang anti mecat orang dan ada sangat gemar memecat.

 

“Saya tidak mau memutus rizki orang,” kata yang anti. “Saya mecat orang untuk kualitas kinerja,” kata yang satunya.

 

Mengingat pecat memecat ini sarat dengan tipe orang, maka seringkali muncul pertanyaan: bagaimana praktik tersebut tepat untuk dilakukan?

 

Hemat saya, ada dua landasan yang bisa dijadikan pijakan.  Pertama, landasan hubungan kemanusiaan. Kita dikasih pilihan untuk menjadi orang yang adil dan orang yang mulia secara kemanusiaan dalam merespon perilaku orang.

 

Bagaimana menerapkannya? Untuk perilaku seseorang yang dampak buruknya akan mengena ke banyak orang (organisasi), maka keadilan lebih perlu untuk ditegakkan.

 

“Satu orang pun yang mencuri pulpen, akan saya usir dari tempat ini. Sebab kelakuan buruk itu menular,” tegas KH. Abdullah Syukri, Pengasuh Pondok Modern Gontor di depan 3000 murid dan guru tahun 1992 yang saya catat di buku agenda. Inilah contoh keadilan diterapkan.

 

Tapi untuk keburukan yang menyasar pada kita sebagai person (leader), maka menjadi manusia yang mulia lebih perlu untuk dibuktikan. Artinya, seorang leader perlu memaafkan orang yang mendzolimi/bersalah, memberi orang yang menghalangi, dan menyayangi orang yang membenci.

 

Untuk menjadi manusia yang adil dan mulia di wilayahnya, dibutuhkan hati yang cerdas. Sebab, hati yang koneksinya tidak sampai ke langit (ajaran/value), tidak memiliki alasan yang kuat untuk menjadi manusia yang mulia dan adil.

 

Kedua, landasan sistem organisasi. Dari sejumlah kajian yang dipublikasikan oleh Harvard Business Review, Gallup, dan Forbes, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pembelajaran.

 

Yang mendasar adalah perlunya PIP (Performance Improvement Plan) dalam organisasi. Maksudnya, untuk memecat seseorang itu landasannya harus faktual, bukan prasangka, asumsi, atau tekanan jama’ah.

 

Untuk mendapatkan fakta berarti organisasi tersebut perlu memiliki standar kinerja (PIP) yang terkonsep dan terkomunikasikan. Sehingga dengan begitu seseorang tidak merasa ujuk-ujuk dipecat. Artinya, perlu ada dokumentasi perilaku yang bisa membuktikan pelanggaran.

 

Secara internasional, ada sejumlah perilaku yang bisa digunakan keputusan pemecatan. Antara lain: kinerja yang rendah, sering tidak masuk tanpa alasan, gagal melakukan perbaikan, moralnya merusak budaya kantor, mempengaruhi orang lain dalam hal keburukan, merusak kebijakan organisasi, melakukan kriminal, pembangkangan terhadap tatanan organisasi, pelecehan, dan perkelaian.

 

“Memecat orang yang bersalah tidak saja bagus bagi bisnis, tetapi juga dibutuhkan jika tujuan Anda adalah untuk memperbaiki kualitas kinerja,” demikian saran dari hasil riset Gallup Inc (22).

 

Artikel

BAGAIMANA MEMAHAMI DUNIA-AKHIRAT DALAM PRAKTIK HIDUP?

Serial Kecerdasan Hati

BAGAIMANA MEMAHAMI DUNIA-AKHIRAT DALAM PRAKTIK HIDUP?

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

“Tidak ada benda dan peristiwa apapun di dunia ini yang terpisah dari agama,” demikian catatan saya setelah menyimak petuah KH. Hasan Abdullah Sahal, Pengasuh Pondok Modern Gontor, ujung tahun 2014.

Dengan kata lain, tidak ada komponen material dan spiritual yang terpisah, sebagaimana anggapan orang selama ini. Motor yang kita pakai bukan saja makhluk material, tetapi juga spiritual.

Buktinya, ketika seseorang menyayangi motornya, motor itu akan menunjukkan keindahan dan ketangguhan dalam melayani pemiliknya. Jika pemilikinya ikut ojek online, motor itu juga akan memberinya rizki yang lebih banyak. Demikian berlaku ke semua hal.

Material adalah representasi dari dunia sekarang ini, sedangkan spiritual adalah representasi dari dunia nanti (akhirat).

Meski hakikatnya tidak terpisah (oneness, ahad), tapi pemahaman manusia mengenai hubungan dunia-akhirat tidak sama.

Tiga Kelompok Pemahaman Manusia

Secara umum, bagaimana manusia memahami hubungan dunia-akhirat dapat dikelompokkan menjadi tiga.

Pertama, kelompok yang menolak dan mengabaikan keberadaan akhirat. Al-Quran memastikan semua hati nurani manusia memahami adanya akhirat.

Riset internasional selama 3 tahun oleh University of Oxford Inggris menyimpulkan: manusia memiliki tendensi alami untuk mempercayai Tuhan dan kehidupan setelah kematian (NDTV/12 May, 2011).

Bahwa ada yang menolak atau menerima, itu pilihan manusia. Penolakan terhadap akhirat yang dilakukan manusia bisa berbentuk statemen maupun komitmen (mengakui namun tidak meresponi).

Kedua, kelompok yang memisahkan. Jumlah kelompok ini sangat banyak di Indonesia. Di masjid itu urusan akhirat, tapi di kantor itu urusan dunia. Umrah ke Makkah itu akhirat, tapi belajar sains ke Amerika itu dunia.

Ada joke dari Gus Dur. Ketika ada seorang preman ditangkap polisi, rupanya di saku preman itu terdapat banyak kartu keanggotaan kegiatan NU. Tentu polisi heran. Bisa-bisanya orang yang rajin ikut kegiatan NU tapi suka malak di terminal.

Ketika ditanya mengenai hal itu, si preman menjawab: “Saya di NU untuk tabungan akhirat, tapi saya di terminal ini untuk mencari nafkah di dunia.”

Ketiga, kelompok yang mampu menyatukan (tauhid), mengutuhkan (integrated), dan meng-esa-kan (manunggal) hubungan tersebut. Dengan pemahaman ini, maka pengawasan dan bimbingan Allah ada dimana-mana.

Di balik kegiatan yang material, ada spiritual. Demikian sebaliknya. Ada akhirat di balik dunia dan perlu ada dunia di balik tujuan akhirat. Tidak ada urusan agama dan non-agama dalam hidup, karena memang satu dan ada hisabnya, seperti pesan KH. Hasan Abdullah Sahal di muka.

Semoga bermanfaat.

Artikel

LIMA CARA MENGUBAH PERILAKU ORANG LAIN DI TEMPAT KERJA

Serial Kecerdasan Hati

LIMA CARA MENGUBAH PERILAKU ORANG LAIN DI TEMPAT KERJA

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

“Ubai. . . .d, jangan menelpon orang lain jika butuh bantuan. Cukup telepon saya. 24 jam terbuka untuk you,” suara al-Marhum atasan saya di telepon ketika meminta saya untuk mengubah perilaku.

Itulah pengalaman pribadi tahun 1998 di tengah memuncaknya demo yang meminta Presiden Soeharto turun. Saya pun akhirnya mengubah perilaku.

Hampir semua organisasi di dunia ini disesaki oleh tuntutan saling menyuruh orang lain untuk berubah. Memang seringkali efektif dan efisien jika dilakukan dari atasan ke bawahan atau dilakukan oleh orang yang punya power kuat.

Bagaimana jika dilakukan kepada sesama? Ini yang kerapkali menimbulkan problem.

Lima Cara Mengubah Perilaku Orang Lain

Adakah cara lain? Praktik dan riset ilmiah menawarkan 5 cara berikut yang bisa Anda coba. Tentu butuh proses untuk menemukan yang paling tepat berdasarkan konteks.

  1. Bahasa yang asertif

Terhadap orang yang terus terlambat dalam meeting yang penting, kita tidak mengatakan dia tidak punya otak (menyalahkan orangnya), tapi menjelaskan meeting telah berjalan 30 menit dan dampak dari keterlambatan itu bagi pekerjaan (asertif dan fokus pada tindakan). Barulah menyepakti perubahan ke depan.

  1. Pertanyaan mengenai solusi ke depan

Dengan pertanyaan yang tepat, orang akan melihat ke dalam diri untuk melakukan refleksi dan evaluasi sehingga perubahan sangat mungkin terjadi. “Pertanyaan mengenai perubahan perilaku masa depan (apa yang akan Anda lakukan?) mempercepat kesiapan seseorang untuk berubah,” demikian hasil riset Journal of Consumer Psychology (Forbes, Jan 2016).

  1. Ajakan yang menguatkan kedaulatan diri

Secara naluri, orang akan lebih tertantang untuk menunjukkan kehebatannya apabila dikasih otoritas penuh  (self self control). Misalnya, kita meminta seseorang untuk membuktikan rencananya mengatasi dampak buruk dari perilakunya. Dengan begitu, ia akan lebih tertantang untuk berubah.

  1. Tawaran bantuan

Tawaran mengisyaratkan kedekatan dan dukungan. Normalnya, tidak ada hati manusia yang  tidak tunduk kepada kebaikan. “Kebaikan adalah bahasa hati yang dipahami oleh semua manusia di dunia,” kata para motivator. “Sentuhlah apa yang ada di hatinya,” kata penyair dan penulis lagu.

Dengan menyentuh hati, seseorang akan bergerak. Apa yang dilakukan atasan saya adalah tawaran bantuan yang menggerakkan hati.

Itulah cara-cara beradab yang bisa kita lakukan. Al-Quran mengajarkan: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).

Apakah pasti berhasil? Pastinya tidak.  Karena itu, terkadang perlu negosiasi dan konfrontasi dengan konsekuensi: menang-kalah, menang-menang, dan kalah-kalah.

Selamat mempraktikkan!

 

 

 

 

 

 

 

Artikel

MENYIMAK PRESENTASI ALLAH SWT DI DEPAN MANUSIA

Serial Kecerdasan Hati

MENYIMAK PRESENTASI ALLAH SWT DI DEPAN MANUSIA

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT | Heart Intelligence Specialist

Terhadap kenikmatan dan kebaikan yang diterimanya, manusia cenderung akan mengangkat dirinya sebagai sebab paling utama (the cause). Jangan kan jasa orang lain, peranan Tuhan saja kerap termarjinalkan dari hatinya.

Tapi sebaliknya, terhadap keburukan dan penderitaan, manusia cenderung menuding ke selain dirinya sebagai penyebab. Orang lain, keadaan, dan bahkan Tuhan sekali pun kerap menjadi sasaran. Konon, orang akan cenderung menuding ke luar 10.000 kali barulah menuding ke dirinya 1 kali.

Ada penjelasan Allah SWT (presentasi) di lima tempat dalam al-Quran yang esensi dan aksentuasi (tekanan)-nya sama:

  • “ . . . .dan sesungguhnya Allah tidak menzhalimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali Imran: 182).
  • “Dan sesungguhnya Allah tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Anfal: 51).
  • “ . . . dan Allah sekali-kali tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Hajj: 10).
  • Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzhalimi hamba-hamba(-Nya).” (QS. Fushilat: 46).
  • “. . . dan Aku tidak menzhalimi hamba-hamba-Ku.” (QS. Qaf: 29).

Lima ayat di atas, jika kita bahas dari sisi bacaan, terjemahan, dan tafsirnya, tentu tidak susah kita lakukan hari ini. Cuma, bukan itu ujung dari perintah-Nya. Tugas kita adalah mentransformasikan (mengolah) ayat tersebut menjadi energi, strategi, dan aksi menghadapi realitas harian.

Begitu kita telah paham-sepaham-pahamnya di dalam hati bahwa apa yang menimpa kita adalah akibat (effect) dari pilihan kita dan Allah tidak dzolim sedikit pun terhadap kita, maka hati kita lebih cepat ridlo (menerima dengan baik). “Penolakan itu akibat dari kedangkalanmu,” pesan Ibnu Atho’illah dalam Al-Hikam.

Kajian psikologi menyimpulkan bahwa untuk bisa mengubah diri dan mengubah realitas, syarat yang paling awal adalah ridlo (positive acceptance). Dan ridlo ini merupakan bukti keimanan.

Begitu kita telah paham-sepaham-pahamnya, maka kedaulatan atas diri kita telah kita rebut dengan sempurna. Sebaliknya, begitu kita menuding ke luar terus, apalagi kebablasan, sama artinya kita menyerahkan kedaulatan diri. Akibatnya, kita menjadi victim (korban), bukan victor (pemenang). Kita menjadi reaktif, bukan proactive (penentu ikhtiyar).

Begitu ridlo dan kedaulatan diri telah kita miliki, kita akan mudah melakukan evaluasi, aksi, dan lebih cepat menerima pengajaran dari langit melalui berbagai media dan channel (hidayah, ilham, intuisi, inspirasi, dan seterusnya).

Terhadap berbagai kekacauan yang terjadi (chaos), para nabi cepat berkesimpulan: “Inni kuntu minadz dzolimin” (akulah yang harus melakukan evaluasi atas pilihan-pilihanku dan akulah yang  bertanggung jawab, full!).

Semoga bermanfaat.

Artikel

Perusak Produktivitas Organisasi

Serial Kecerdasan Hati

PERUSAK PRODUKTIVITAS DALAM ORGANISASI

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT | Heart Intelligence Specialist

Produktivitas organisasi menjadi kunci eksistensi. Sebab, dari sinilah trust (kepercayaan orang) lahir. Riset di bisnis mengungkap peranan trust dalam menggerakkan orang untuk membeli sebesar 80%. Sisanya terkait dengan branding dan faktor lain. Artinya, tanpa trust, organisasi mati.

Angka tersebut dapat menjadi pelajaran bagi organisasi non-profit juga. Praktik di Indonesia membuktikan itu. Banyak organisasi sosial keagamaan atau lembaga pendidikan yang mendapatkan funding dari publik melalui wakaf, misalnya. Apa faktornya? Pastinya ada trust terhadap produktivitas organisasi tersebut dalam mengelola amanah publik.

Produktivitas suatu organisasi dapat rusak karena melakukan hal-hal berikut:

  1. Terlalu cepat ada pergantian atau perputaran

Dua hal ini memang dibutuhkan, tetapi terlalu cepat melakukannya justru malah merusak. Hasil riset Eagel International Resource menyebutkan 40% produktivitas seseorang hilang gara-gara task switching (pergantian) yang tidak tepat.

  1. Tidak memberi ruang kreasi dan eksplorasi

Semua sepakat bahwa organisasi membutuhkan arahan, tujuan, dan strategi eksekusi yang pasti dan kuat. Untuk tiga hal ini, sahabat saya punya pedoman bagi orang-orangnya: no question and no discussion! Banyak diskusi malah bikin lambat.

Tapi dalam hal mengeksekusi strategi tersebut, perlu ada ruang kreasi dan eksplorasi. Sebab, dua hal ini akan membuat hati manusia menjadi lebih cerdas karena ada gerakan di dalamnya. Google punya aturan “20% Rule”. Maksudnya, setiap orang didorong mengalokasikan 20% waktunya untuk berkreasi bagi organisasi yang menurutnya penting.

Ruang kreasi dan eksplorasi akan membangun ikatan hati dan energi sehingga produktivitas seseorang tetap terjaga. Bahkan bisa meningkat.

  1. Membiarkan kehampaan

Urusan hati sangat penting bagi produktivitas organisasi. Organisasi yang membiarkan orang-orangnya kehilangan makna hidup, terutama hubungan antara kerja dan tujuan yang bermakna (life purpose), dapat merusak produktivitas.

Karena itu, berbagai kegiatan yang memfasilitasi setiap orang untuk terhubung kembali dengan tujuan  hidup yang berarti, seperti training, outing, pengajian, meeting mingguan, coaching atasan, dan lain-lain sangat penting. Hati perlu digugah, perlu diikat, perlu dingatkan, perlu dibersihkan, dan perlu digerakkan.

Sebab jika tidak, ruang hati menjadi hampa, dan hal ini dapat merentankan orang terkena ‘burn-out’ (kehilangan energi) dan ‘career paralysis’ (kelumpuhan berkarier). Bagi generasi sekarang (Gen Z), seperti diberitakan Kompas, sebanyak 41% memilih menganggur ketimbang tidak bahagia di tempat kerja. Riset dilakukan tahun 2022 di wilayah Eropa, Asia Pasifik dan Amerika.

Bagaimana di Indonesia? Kata kawan saya: hari ini, loyalitas pegawai lebih ke kariernya dan  dirinya, bukan ke perusahaannya, seperti saya dulu!

Semoga bermanfaat.

 

 

Artikel

OBROLAN YANG MENDORONG KINERJA TIM

Serial Kecerdasan Hati

OBROLAN YANG MENDORONG KINERJA TIM

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT | Heart Intelligence Specialist

Dua hal yang menentukan kehebatan dan keutuhan tim adalah komunikasi dan kolaborasi (perkawinan).

Praktik membuktikan bahwa gabungan individu yang hebat belum tentu menghasilkan tim yang kuat. Sebaliknya, banyak tim yang hebat padahal isinya orang yang biasa-biasa saja secara individu. Ini tergantung kualitas komunikasi dan sistem kolaborasi.

Sarana penting yang bisa digunakan untuk memperkuat kohesi hati dan kolaborasi tim adalah obrolan di luar ruang rapat, heart by heart communication. Obrolan tersebut bersifat informal. Waktunya pun tidak lama-lama.

Tetapi, menurut riset Gallup Inc, sebuah perusahaan riset terkemuka di dunia, obrolan tersebut sangat men-drive hal-hal positif dalam tim. Riset mengungkap ada 5 obrolan yang dapat mendukung tim (5 Conversations That Foster Teamwork in the Workplace: April 27, 2022):

  1. Obrolan yang dapat memahamkan orang mengenai peranannya dan keterkaitannya dalam organisai. Semakin paham seseorang bahwa apa yang dilakukannya berdampak penting bagi organisasi (orang banyak), maka ia akan semakin terpacu.
  2. Obrolan yang menghangatkan kedekatan, misalnya saat ngopi bareng atau makan bareng lalu saling menanyakan hal-hal penting dalam hidup. Katakanlah menanyakan perkembangan anak, hewan peliharaan, kelompok pengajian, bacaan buku, mancing, dan seterusnya.
  3. Obrolan yang mendiskusikan prioritas dan perkembangan pekerjaan. Meski tidak harus seserius di ruang rapat, tapi obrolan tersebut sangat membantu.
  4. Obrolan yang membahas feedback positif (masukan perbaikan) atas apa yang telah dilakukan.
  5. Obrolan mengenai prestasi tim dan masa depan.

Secara kecerdasan hati, bila obrolan di atas dilakukan seseorang dengan cara yang diterima oleh hati, maka akan menghasilkan apa yang disebut ‘coherent heart’ (hati yang cerdas).

Koherensi adalah keadaan batin dimana hubungan jantung dan otak dan hubungan antara hati rohani (spiritual heart) dan pikiran (mind) sangat harmonis dan sinergis.

Koherensi ini dapat dihasilkan dari kegiatan untuk saling peduli, mewujudkan kasih sayang, dan melihat hal-hal yang bisa diapresiasi dari diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan dunia ini.

Kepada pribadi, koherensi akan berdampak pada energi positif, kemampuan menjalin hubungan sosial yang makin bagus, dan performa otak yang semakin tinggi.

Dan bila dilakukan secara bareng-bareng, maka yang terjadi adalah ‘global coherent heart’.  Demikian riset ilmiah HeartMarth Institute mengungkap.

Hal ini akan mempengaruhi miliu yang harmonis, rasa lingkungan yang rindang, dan budaya jama’ah yang progresif.

Menurut al-Quran, sebagaimana dijelaskan dalam Surah An-Nisa’: 114, sebagian besar obrolan manusia tidak menghasilkan kebaikan, kecuali obrolan yang mengarahkan dan menghasilan shodakoh (memberi kebaikan), kemakrufan (hal-hal yang diterima oleh hati kecil manusia), dan perbaikan hubungan antarmanusia (ishlah).

Semoga bermanfaat.

Artikel

KECERDASAN HATI DAN KEPEMIMPINAN DI PONDOK MODERN GONTOR

KECERDASAN HATI DAN KEPEMIMPINAN DI PONDOK MODERN GONTOR

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

Minggu hari ini (15/Mei /22), ada peristiwa akademik akbar di Pondok Modern Gontor. Para santri baru dan wali santri ditentukan nasibnya. Mereka berkumpul untuk menyimak pembacaan hasil ujian yang telah berhari-hari dijalani. Ada yang langsung diterima di Gontor Satu, Dua, Tiga, dan seterusnya, dan ada yang tidak lulus.

Tahun ini, calon santri terhitung sedikit. Hanya sekitar 2000 untuk santri putra dan putri. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, jumlah calon santri mencapai 8000-10.000.  Mereka datang dari seluruh pelosok negeri dan dari luar negeri.

Selain ingin mengetahui hasil ujian, pidato Pimpinan Pondok Modern mengenai prinisp Gontor sangat ditunggu-tunggu oleh semua. “Mengetahui Pondok Modern itu lebih penting daripada mengetahui hasil ujian,” pesan Kiai Hasan Abdullah Sahal.

Seluruh Pimpinan Pondok Modern mendapatkan warisan kepemimpinan yang disebut dunia hari ini sebagai kepemimpinan berprinisip (principle centered leadership). Dan inilah yang menjadi salah satu pilar kepemimpinan dengan hati yang cerdas.

Sederhananya, kepemimpinan berprinsip adalah kepemimpinan yang menempatkan prinsip-prinsip sebagai pemandu langkah (practical road map). Langkah pemimpin tidak dipandu oleh kepentingan pribadi atau harapan kolektif.

Membaca hasil posting-an di sejumlah WAG, ada beberapa prinsip fundamental yang disampaikan Kiai Hasan Abdullah Sahal tahun ini. Di antaranya adalah:

  1. Pondok Modern berdiri di atas dan untuk semua golongan.
  2. Pondok Modern telah diwakafkan kepada umat Islam.
  3. Seluruh kegiatan di Gontor ditangani oleh santari sebagai pendidikan.
  4. Keputusan Gontor (penerimaan santri) tidak bisa diintervensi, dikomentari, dan didokumentasikan oleh pihak luar.
  5. Gontor tidak mengistimewakan perlakuan berdasarkan nasab, status sosial, marga, dan semua atribut sosial.
  6. Pondok Modern mendidik kehidupan, bukan semata pelajaran.
  7. Tidak ada organisasi wali murid, komite sekolah, bahkan tidak organisasi keturunan Pimpinan Pondok di Gontor.

 

Bagaimana Gontor Menjalankan Prinsip? 

Semua organisasi apapun di dunia ini ingin menjadi organisasi dengan kepemimpinan yang berprinsip. Tapi dalam praktiknya, yang benar-benar menjadi kenyataan (culture), jumlahnya sangat sedikit. Selebihnya, organisasi yang hanya memiliki prinsip dalam konsep, tetapi tidak berprinsip dalam praktik.

Apa rahasia keberhasilan Gontor menerapkan kepemimpinan berprinsip? Dari praktik yang berjalan di Gontor, saya mencatat ada lima core factors (faktor utama) yang sering saya sebut sebagai formula 5K+1P. Penjelasannya kira-kira sebagai berikut:

  • Keteladanan (K1). Para kiai tidak semata memberi contoh dalam menjalankan prinsip, tetapi menjadi contoh. Menjadi contoh berarti perilaku tersebut sudah melekat menjadi sifat.
  • Kekuatan (K2). Agar lembaga bisa berdiri dengan prinsipnya,Gontor telah menyiapkan resources (bekal), dari mulai ekonomi, SDM, dan fasilitas pendukung. Gontor berprinsip di atas kekuatan.
  • Komunikasi (K3). Para kiai dan guru-guru terus memviralkan prinsip Gontor dengan berbagai cara, channel, dan kesempatan. Melalui cerita, ceramah, contoh, coretan, dst. Komunikasi dilakukan secara tahunan, bulanan, mingguan, dan harian.
  • Konsekuen (K4). Di depan prinsip, tidak ada orang Gontor yang punya keistimewaan. Siapa yang melanggar ditindak. Bahkan tidak ada sebutan “gus” di Gontor. Aset material Gontor tidak bisa dimiliki oleh keturunan kiai.
  • Panduan (P). Agar prinsip dapat ditransformasikan ke bawah, ada panduan yang bisa dilihat, didengar, dipahami, dan diajarkan.

 

Semoga bermanfaat.

Artikel

Serial Kecerdasan Hati – KENAPA SUDAH PROFESOR KOK MELAKUKAN PENYIMPANGAN BERPIKIR?

Serial Kecerdasan Hati – KENAPA SUDAH PROFESOR KOK MELAKUKAN PENYIMPANGAN BERPIKIR?

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specilist

“Kenapa sudah profesor kok bisa melakukan penyimpangan berpikir?” tanya seorang kawan membuka obrolan lebaran di rumah saya kemarin.

Beberapa hari menjelang Idul Fitri, jagat medsos diramaikan oleh protes terhadap tulisan seorang profesor yang melakukan distorted thinking (penyimpangan berpikir) dengan kesimpulannya.

Pertama, menyimpulkan bahwa ternyata orang yang tidak berjilbab mampu mencapai kompetensi dan prestasi akademik (skor IELT, hasil wawancara LPDP, dll) lebih unggul dibandingkan dengan orang berjilbab. Bahkan masih ditambah dengan ungkapan “gurun” sebagai sikap yang merendahkan bagi sebagian orang.

Jika kesimpulan di atas yang dimaksudkan, tentulah itu distorsi. Apa hubungannya jilab dan kompetensi? Jilbab wilayahnya di pilihan kesadaran, sedangkan kompetensi wilayahnya di pilihan kerja keras dan kerja cerdas. Siapapun bisa mencapai kompetensi akademik asalkan kerja keras dan kerja ceras, baik dengan cara yang lurus maupun dengan cara yang bengkok (menyuap, curang, misalnya).

Kompetensi, kekayaan, jabatan, dan semisalnya termasuk nikmat Tuhan yang diberikan secara kompetitif (ar-Rahman). Sedangkan kesadaran iman, takwa, berintegritas, termasuk berjilbab jika dilakukan untuk kesalehan jatidiri, adalah nikmat eksklusif (ar-Rahim). Jika distorsi tidak dihentikan, lama-lama pak profesor bisa bikin status begini: orang yang shalatnya rajin banyak yang miskin, padahal bandar narkoba saja kaya raya.

Kedua, menyimpulkan ungkapan masya Allah, biqodrillah, dan seterusnya sebagai KPI (Key performance indicator) akhirat yang tidak pas untuk diucapkan di dunia. Jika ini yang dimaksudkan, benar-benar profesor telah krisis toleransi. Kenapa?

Seluruh bangsa di muka bumi ini memiliki bahasa untuk menyiasati dan menyikapi ruang hidup yang di luar kontrol secara bijak. Sebagian orang Islam di Indonesia menggunakan bahasa al-Quran atau hadist Nabi sebagai pilihan. Tentu saja bahasa Arab, seperti masya Allah itu. Dan inipun pilihan yang sah.

Orang Jawa memiliki bahasa seperti kersaning ngalah, mugo-mugo, dll. Orang Barat menggunakan istilah: may God, goodluck, dan seterusnya. Bahasa seperti semoga, mudah-mudahan, atau saya berharap, adalah ungkapan spiritual sebagai pengakuan adanya kekuatan di luar kita.

Misalnya pak profesor tidak suka ungkapan berbahasa Arab, tidak masalah. Itu hak perasaan. Tetapi tuntutan hidup seseorang di ruang publik terhadap hal yang demikian adalah bertolerasi sebagai ciri peradaban.

Ketiga, menghakimi orang lain, baik ke pribadi atau kelompok, apabila merugikan disebut kedzaliman. Tapi ada kedzaliman yang hanya bisa dituntut oleh Tuhan dan ada kezdaliman yang manusia pun punya kuasa untuk menuntutnya. Kapan itu?

Misalnya pak profesor berbicara hanya dengan istrinya, sahabatnya, atau timnya soal orang berjilab, tentu sulit untuk dituntut oleh manusia. Hamipr semua kita ‘menikmati’ dosa berghibah di ruang khusus. Tapi ketika itu disampaikan di ruang publik, maka orang lain yang merasa dirugikan punya hak sosial untuk menuntut.

MAKHMUMUL QULUB: WHAT IS THAT?

Kenapa sudah profesor kok masih melakukan penyimpangan berpikir? Sejarah mencatat anak, menantu, keluarga sebagaian nabi pun bisa melakukan itu. Bahkan lebih dari itu: melakukan distorted action (tindakan kezaliman/kerusakan).

Apa rahasianya? Riset ilmiah dan discovery ulama tasawuf menyimpulkan bahwa hati manusia, baik hati fisik (jantung) maupun hati rohani mengkomando otak dan perilaku.

Dalam Science of the Heart (2008), riset HeartMath mengungkap jantunglah yang sering berkomunikasi dengan otak, bukan sebaliknya, Karena itu, jantung disebut sebagai the ruling organ atau global coordinator.

Al-Ghazali dan ulama tasawuf lain menyimpulkan hatilah (hati rohani) yang menjadi raja dalam pemerintahan jiwa. Selain hati, semua organ jasmani dan rohani manusia adalah pasukan sekaligus pelayan hati.

Artinya, ketika hati error, maka otak dan perilaku sangat mungkin melakukan distorsi? Supaya tidak terjadi, bagaimana caranya? Rasulullah SAW menyebut istilah rahasia: “makhmumul qulub”. Para sahabat belum tahu apa maksudnya.

Berdasarkan hadist Nabi SAW, makhmumul qulub (hati yang terpelihara) adalah hati yang selalu bertakwa (eleng wan waspodo) dan hati yang selalu dibersihkan sehingga tidak ada noda, selalu bercahaya, tidak ada kebencian dan kedengkian.

Artikel

MORAL KILLER DALAM ORGANISASI

MORAL KILLER DALAM ORGANISASI

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT | Heart Intelligence Specialist

Fakta sejarah umat terdahulu memberikan pelajaran penting terkait eksistensi. Banyak umat yang hilang dari peredaran jagat ini ternyata bukan karena kurang canggih skill-nya. Mereka dilenyapkan oleh Allah SWT karena karakter moral yang rusak atau modal spiritualnya ludes.

Ada petunjuk penting dari al-Quran yang perlu dijadikan pelajaran. “Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, selama penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan,” (QS. Hud: 117).

Tentu fenomena di atas tidak lantas dimaknai bahwa skill, teknologi, dan sains tidak penting bagi peradaban. Untuk mengisi dan mengangkat performa peradaban, manusia membutuhkan semua itu. Dari sain dan teknologi inilah lahir kemewahan, kemajuan, dan kegegap-gempitaan zaman.

Dengan sains dan teknologi, manusia membangun kemajuan dan ketinggian. Tapi jika tanpa modal moral, maka langkahnya dalam mencapai kemajuan dan ketinggian akan jatuh terjunggal dan terhempas.

Karena itu, organisasi apapun di dunia membutuhkan modal moral untuk menjaga eksistensinya dan menyempurnakan capain kinerjanya.

EMPAT MORAL KILLER

Mempelajari hasil riset dan fakta-fakta organisasi di dunia ini, ada sedikitnya empat moral killer (penghancur moralitas) yang perlu diwaspadai.

Pertama, disintegritas atasan. Jika atasan kerap ngomong A tapi yang dilakukan atau yang diperintahkan B, maka kepercayaan (trust) akan turun. Kekacauan moral terjadi ketika kepercayaan terkikis. Orang akhirnya bertindak sesuai kepentingan egonya. Anjuran moral hanya berupa tulisan dan ucapan.

Sampai hari ini, bila kita melihat tren hasil riset internasional mengenai modal personal yang harus dimiliki para pemimpin, bisa kita temukan bahwa integritas (sidik) tetap menjadi nomor wahid.

Kedua, konflik destruktif. Organisasi sepak bola, kampus, masyarakat, keluarga, atau perkumpulan apapun di dunia ini apabila hubungan antarmanusia di dalamnya sudah didominasi oleh konflik yang merusak, sudah pasti bangunan moralnya berantakan.

Tak hanya itu. Menurut petunjuk al-Quran, laknat Allah pun akan turun dalam berbagai bentuk (QS. Ar-Ra’d: 25). Lain soal kalau konfliknya masih berupa konflik produktif yang justru malah menyegarkan kreativitas.

Ketiga, sistem manajemen yang lemah. Pada manajemen yang lemah, orang yang melanggar atau yang tidak berprestasi dibiarkan, tetapi kepada yang hebat juga dibiarkan. Artinya, manajemen tidak membedakan perlakuan kepada orang yang baik (the best) dan orang yang buruk, yang berprestasi bagus dan yang tidak berprestasi.

Manajemen yang lemah mengingkari tugas dasarnya untuk menegakkan keadilan dan kemuliaan. Jika ini berlanjut, dipastikan moralitas di organisasi kacau. Banyak yang tidak termotivasi untuk berprestasi, lebih buruk lagi jika orang yang tidak baik malah mengendalikan situasi.

Keempat, rakus oleh atasan. Dengan kekuasaan di tangan, seorang atasan dapat berbuat sebanyak mungkin untuk memenangkan kepentingan pribadi. Aturan bisa dibuat dan pelanggaran terhadap aturan pun bisa disiasati. Dan ini jamak terjadi.

Tapi hubungan atasan-bawahan bukan semata hubungan administratif dan fisik. Ada hubungan hati yang terus berkomunikasi. Karena itu, ada ungkapan bijak yang berpesan, “Atasan yang rakus tidak bisa menghentikan kerakusan bawahannya.” Kenapa? Karena yang mengendalikan perilaku orang lain bukan semata posisi, tetapi juga komunikasi hati.

Artikel

LAILATUL QODAR; MASIHKAH DITURUNKAN OLEH TUHAN…?

LAILATUL QODAR; MASIHKAH DITURUNKAN OLEH TUHAN…?

Lailatul Qodar berarti malam yang penuh keagungan, malam yang super-sangat menentukan, dan malam yang dipenuhi kemuliaan. Itulah beberapa arti yang dikandung oleh kata “qodar”.

Penjelasan di atas sangat mudah dipahami oleh siapapun ketika dikaitkan dengan turunnya al-Quran.

Hadirnya al-Quran sangat menentukan nasib manusia dan dunia ini. Setiap orang diberi pilihan untuk menjadi mukmin, kafir, munafik, ateis, agnostik, atau apapun. Yang tidak bisa dipilih adalah apabila seseorang ingin langkah hidupnya selamat, maka harus bertakwa. Takwa adalah hukum yang menentukan.

Pesawat terbang, menggoreng kerupuk, sampai komen di medsos apabila ingin selamat harus takwa.
Dalam al-Quran, takwa ada yang berlaku umum (kauniyah) dan berlaku khusus (syar’iyyah). Takwa umum perlaku untuk semua makhluk, semua gerakan, dan semua peristiwa. Takwa dalam arti ketaatan terhadap hukum-hukum kauniyah (alam/saintifik) yang sudah ditetapkan Allah.

Al-Quran adalah kitab yang menjamin zero-errors (tidak ada kemungkinan salah selama-lamanya). Laroiba fih. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai rahasia akhirat dan rahasia dunia ini yang tidak sanggup ditandingi oleh manusia manapun selama-lamanya.

Bukankah ini keagungan bagi orang-orang yang mau menggunakan hati dan pikirannya? Tanpa penjelasan al-Quran, siapa yang bisa ngomong secara pasti Tuhan itu esa/satu?

Selain sebagai petunjuk, al-Quran menyediakan obat dan cahaya bagi hati. Tentu dengan syarat apabila arti dan maknanya diserap oleh hati yang cerdas (qolbun salim). Yaitu hati yang meyakini kebenarannya dan membuktikannya dalam praktik hidup.

Hati menjadi pokok bahasan yang istimewa dalam al-Quran. Tidak kurang dari 230 ayat berbicara mengenai hati. Terkadang menggunakan kata dada (shudurun), hati (qolbun), hati kecil (fuad), dan hati inti (albab).

Kenapa hati? Hatilah tempat hidayah. Hatilah tempat iman. Hatilah tempat ilmu (understanding). Langkah manusia di dunia ini ditentukan oleh mata yang ada di dadanya (QS. al-Haj: 46), bukan mata yang ada di kepala (baik mata fisik maupun mata pikiran).

Karena al-Quran menyediakan obat, cahaya, dan ilmu bagi hati yang merupakan ruling organ (penentu langkah), maka turunnya al-Quran adalah kemuliaan bagi manusia dan dunia ini.

Singkat kata, malam diturunkan al-Quran adalah malam penuh berkah (berlimpah kebaikan). Pada malam itu, jagat ini digambarkan penuh sesak dengan malaikat.

Lailatul Qodar & Takdir Hidup Manusia

Didasarkan dari hadits Nabi SAW yang begitu mashur, banyak orang yang menggenjot ibadahnya di masjid di malam-malam terakhir bulan Ramadlan. Utamanya malam ganjil. Mulai dari terawih, tadarus al-Quran, wirid, dan shalat sunnah lain. Melalui praktik ini, banyak penafsiran muncul dari para ulama terkait Lailatul Qodar.

Ada yang berpendapat, di malam Lailatul Qadar itu kadar rejeki seseorang ditentukan selama setahun. Ada lagi yang berpendapat, di malam Lailatu Qodar itu nilai ibadah manusia mengalami kelipatan dahsyat, sama seperti ibadah seribu bulan. Ada juga yang berpendapat, di malam itu ibadah seseorang dapat menghapus dosa-dosa sebelumnya.

Terlepas pemahaman manapun yang kita praktikkan hari ini, tapi yang jelas Lailatul Qadar itu waktunya dan bentuknya dirahasiakan oleh Allah. Karena itu, akan lebih beruntung jika seseorang saat ini menunggu datangnya Lailatul Qadar menerapkan disiplin berharap berdasarkan hukum syar’iyyah dan kauniyah yang diajarkan al-Quran.

Berharap kepada Allah adalah ibadah hati. Bahkan disebut sebagai kendaraan menuju Allah. Tanpa harapan, seseorang akan gelap dan sesat hatinya. Tapi berhadarp menurut agama tidak sama pengertianya dengan berharap seperti yang kita definisikan.

Ulama tasawuf, seperti al-Ghazali, Ibnu Qoyyim, dan lain-lain menjelaskan bahwa untuk berharap itu harus menempuh tiga disiplin penting. Yaitu: menggunakan ilmu, mengolah keadaan hati, dan membuktikan dalam tindakan (ilmun, halun, wa’amalun).

Disiplin di atas dapat kita terapkan untuk mengharap perubahan takdir dari Allah di bulan Ramadlan ini. Kita bisa mulai dari merenungi pesan-pesan al-Quran karena Lailatul Qadar terkait dengan al-Quran. Dari sekitar 6.236 ayat al-Quran, kira-kira manakah satu ayat saja (sedikitnya) yang menurut kita perlu kita jadikan dasar untuk perubahan diri. Perubahan takdir bersumber dari perubahan diri.

Tentu dibutuhkan kondisi hati yang terus menerus mengharapkan rahmat Allah dengan yakin (optimis). Untuk sebuah perubahan yang besar atau berarti, tahu dan mampu saja tidak cukup. Dibutuhkan yakin. Bahkan seringkali yakin lebih menentukan ketimbang tahu dan mampu.

Ujungnya adalah aksi nyata. Action plan. Kita perlu menentukan apa yang kita lakukan dan apa yang harus kita hindari agar perubahan diri terjadi. Selama kita terus berkomunikasi dengan hati, kita akan diberi tahu melalui berbagai bentuk (intuisi). Lebih sempurna lagi apabila ditambah pengetahuan dari luar (buku, video, masukan para ahli atau bacaan).

Kepada orang yang berharap, al-Ghazali pernah berpesan. Isinya kurang lebih begini: kalau Anda menabur benih di tanah yang cocok lalu Anda merawatnya seoptimal mungkin, maka menunggu sukses masa panen adalah harapan. Kalau Anda merawatnya dengan kemalasan, maka menunggu sukses masa panen adalah khayalan. Dan jika Anda sudah merawatnya namun keliru caranya atau tidak cocok benih dan tanahnya, maka menunggu sukses masa panen adalah kebodohan.

Berharap Lailatul Qodar, semoga tidak tatingharap…”

Home
Profile
Shop
Contact Us