SAATNYA TIDAK MENYALAHKA SETAN DAN KEADAAN

Kecerdasan Hati

Serial Kecerdasan Hati

SAATNYA TIDAK MENYALAHKA SETAN DAN KEADAAN

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist

“Barang siapa yang mengira dirinya mempunyai musuh yang lebih berbahaya dari nafsunya, berarti dia belum mengenal dirinya.”

Pesan bijak yang ditulis Syekh Nawawi al-Bantany dalam kitabnya Nashoihul Ibad di atas terasa pas sebagai bekal menjalankan puasa Ramadlan.

Banyak orang mempertanyakan realitas yang ganjil. Jika setan-setan itu telah diborgol di Ramadlan, seperti yang dijelaskan Rasulullan SAW dalam hadits yang begitu mashur, lantas kenapa dunia angkara murka berjalan biasa. Bahkan bisa jadi bertambah menjelang Idul Fitri karena kebutuhan hidup yang kurang terkait dengan inti puasa melonjak. Terus?

Terhadap pertanyaan di atas, al-Quran telah menyediakan jawaban, baik al-Quran yang tertulis (kitabiah) maupun al-Quran yang terbentang di alam raya (kauniah).

Pertama, ternyata tipudaya setan itu lemah (QS. An-Nisa: 76). Artinya, kemampuannya untuk menjerumuskan manusia itu kecil. Ini peringatan bagi manusia yang sering menyalahkan iblis atas pelanggaran yang dilakukan.

Kedua, kontribusi terbesar atas langkah manusia justru berasal dari kemampuannya mengontrol hawa nafsu. Hawa adalah kecenderungan, sedangkan nafsu adalah diri. Hawa nafsu sering dipahami sebagai kecenderungan diri yang menjerumuskan manusia ke bawah (hina).

Perlu dicatat bahwa karena hawa nafsu ini modalnya dari Tuhan, pasti ia tidak negatif karena dirinya, tetapi tergantung bagaimana manusia. Hawa nafsu yang terkontrol (self-leader), pasti bagus. Hawa nafsu yang mengontrol (victim), pasti celaka.

Meningkatnya kemampuan kontrol inilah yang menjadi tujuan perintah puasa (la’allakum tattaqun). Sekali lagi, tujuan puasa BUKAN surga atau pahala. Itu balasan yang pasti sifatnya selama mengerjakan dengan iman dan ikhlas. Hilangnya kesadaran untuk meningkatkan kontrol inilah yang membuat orang tetap rakus untuk berebut momen berbuka padahal sedang puasa.

Pusat kontrol manusia berada di hati. Ulama tasawuf menyebut sebagai malik (raja jiwa). Riset HeartMarth Instistute menyebut sebagai global co-ordinator. Fakta membuktikan, ketika hati manusia dikuasai hawa nafsu, maka otak dan perilaku manusia liar secara destruktif. Pengetahuan dan keahlian yang dikuasainya tidak berguna menyelamatkannya.

Satu dari lima tombol untuk mengaktifkan kontrol hati (kecerdasan) adalah perlawanan. Selama sebelas bulan kemarin, dari sekian produk hawa nafsu yang sering membuat kita bermasalah, manakah yang harus kita lawan? Mulailah kita perlu mendeskripsikan perilaku spesifik itu, lalu kita niatkan untuk kita lawan sampai nafsu itu kalah.

Kalimat tauhid adalah perlawanan. Revolusi dan reformasi adalah perlawanan. Tentu, sebagai perang melawan diri sendiri, berlaku juga prioritas, perencanaan, dan pembuktian (action). Bagaimana kalau saya sudah melawan dan membuat rencana, tapi masih gagal? Saatnya tidak  lagi menyalahkan setan dan keadaan!