Serial Kecerdasan Hati – KENAPA BERPIKIR KRITIS ITU BERBEDA DENGAN BERPIKIR NEGATIF?

Kecerdasan Hati

Serial Kecerdasan Hati – KENAPA BERPIKIR KRITIS ITU BERBEDA DENGAN BERPIKIR NEGATIF?

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

Ada ungkapan yang diyakini banyak orang dari Albert Einstein. “Berpikir itu pekerjaan sulit dan karena itu hanya sedikit orang yang berhasil melakukannya,” kata dia. Oleh Thomas Edison, kenyataan ini pernah ia jelaskan dengan kalimat yang keras: “Sebagian besar manusia memilih mati ketimbang disuruh berpikir.”

Lebih dahsyat lagi kalau melihat hadits Nabi Muhammad, seperti dikutip Al-Ghazali dalam Ihya: “Agama itu akal.” Istilah akal kerap mengarah pada dua pengertian utama, yaitu pemahaman positif yang dihasilkan dari hati rohani dan akal dalam arti kesimpulan positif dari proses berpikir. Dan menggunakan akal adalah perintah pertama manusia dalam al-Quran: Iqro!

Salah satu konsep berpikir yang hari ini digaungkan sangat penting untuk kualitas hidup manusia adalah berpikir kritis (critical thinking). Prosesnya dimulai dari kemauan untuk mengamati situasi eksternal lalu membuat penjelasan yang kritis, bukan penjelasan yang dibangun dari opini sendiri semata.

Untuk menghasilkan penjelasan yang kritis itu, idealnya dibutuhkan dukungan informasi, data, pengetahuan, pijakan ilmu, dan cahaya agama. Ujung dari prosesnya adalah serangkaian rumusan sikap dan tindakan yang dapat menghasilkan solusi atau kreasi baru yang pas untuk ukuran/keadaan kita.

Sebagai latihan, kita bisa mempraktikkan berpikir kritis ini untuk merespon bisnis kita, lingkungan kerja, pengembangan karier, situasi politik yang tidak kita harapkan, kehidupan sosial yang selama ini kita anggap mengecewakan, dan seterusnya.

Tentu dalam praktik dan konsepnya terhadap skala dari yang rendah sampai yang tinggi. Intinya, jangan sampai kita hanya memproduksi reaksi negatif dalam berbagai bentuk atas manusia dan keadaan yang kita nilai tidak beres. Inilah yang disebut berpikir negatif.

Berpikir kritis adalah perintah akal, ilmu, dan perintah agama. Selain itu juga sangat menyehatkan otak. Sebaliknya, berpikir negatif adalah larangan, selain juga berdampak destruktif.

Untuk berpikir kritis memang butuh syarat. Teori triune brain mensyaratkan agar kita harus menjadi manusia yang seutuhnya. Teori tersebut membagi struktur otak menjadi tiga: otak reptile, otak mamalia, dan otak manusia berakal (neo cortex).

Ketika kita hanya bereaksi negatif atas situasi (lawan dan lari) berarti yang bekerja adalah otak reptil. Ketika kita menjadi total individualis, orang lain tidak penting, semau sendiri, berarti yang aktif dominan adalah otak mamalia.

Kita baru menjadi hayawanun nathiq (hewan yang berakal) saat menggunakan neo cortex (berpikir, menggunakan instrumen pengetahuan, dan cahaya ajaran). Tentu, pada setiap orang tidak bisa lepas dari adonan sifat mamalia atau reptilnya.

Bahkan Al-Ghazali menyebut ada empat adonan yang membentuk sifat manusia: mamalia, binatang buas, setan, dan ketuhanan (penentu). Kualitas seseorang tergantung sekuat apa sifat-saifat ketuhanannya mengontrol sifat kehewanan dan kesetanannya.

Di sinilah hati menjadi penentu. Otak bukan penentu tunggal dalam struktur pemerintah jiwa manusia. Riset dan ajaran menyimpulkan hati yang menjadi raja dan penguasa sekaligus penentu kinerja otak (cognitive performanca). Hati yang sakit dan hati yang mati tak akan sanggup menyuruh manusia menggunakan neo cortex brain-nya.

Terbukti, ketika hati dikuasi amarah, kebencian, iri-dengki, pembenaran diri sendiri, dan kerakusan, mana bisa berpikir kritis? Qabil yang putra seorang nabi pun tak sanggup berpikir kritis saat hatinya gelap.
Semoga bermanfaat.