Serial Kecerdasan Hati – PRODUKTIVITAS CIRI UTAMA KESUKSESAN PUASA

Serial Kecerdasan Hati – PRODUKTIVITAS CIRI UTAMA KESUKSESAN PUASA

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT | Heart Intelligence Specialist

Banyak yang mengkaitkan puasa dengan pahala, surga, atau pengampunan dosa. Padahal, jika dikembalikan ke narasi al-Quran, ternyata bukan itu yang seharusnya kita buru siang-malam. Justru produktivitaslah yang harus menjadi perhatian utama bagi orang yang menjalankan puasa.

Al-Quran dengan gamblang menjelaskan bahwa tujuan utama puasa adalah untuk (meningkatkan) bertakwa. Takwa ini jika menelaah penjelasan al-Quran adalah produk yang sangat nyata yang bisa diukur pada diri seseorang di dunia ini. “Sebenarnya setiap orang sudah mengetahui keadaan diri mereka masing-masing,” (QS. al-Qiyamah: 14).

Artinya, siapapun yang berpuasa, idealnya harus ada hasil yang nyata pada dirinya. Bahasa modern untuk menyebut itu adalah produktif atau menghasilkan produk. Apa saja produk tersebut?

Di antara produk ketakwaan yang dijelaskan al-Quran adalah integritas (iman pada al-ghoib), mendirikan shalat (bukan sebatas mengerjakan), spiritual (yakin pada akhirat), proaktif (merespon positif atas hal negatif), kematangan emosi, empati, kasih sayang, sabar, dan seterusnya. Untuk lebih lengkapnya, kita bisa merujuk pada sejumlah ayat dalam al-Quran.

Kenapa konsentrasi pada tujuan produktivitas tersebut menjadi penting? Berbagai riset modern menemukan fakta bahwa tujuan adalah alat penting agar manusia mengeluarkan kehebatan yang terpendam di dalam dirinya.

Jika seseorang berpuasa dengan tujuan untuk meningkatkan produk ketakwaan dalam tindakan hati dan hasil yang nyata di dunia sekarang ini, maka tujuan itu akan mendoronganya untuk mengeluarkan kekuatan (jihad) dan ini akan menghasilkan karakter. “Karakter hanya bisa dihasilkan melalui jihad (perjuangan,” kata orang bijak. Begitu jihad telah dijalankan, sudah pasti petunjuk dari Allah didatangkan. Demikian al-Quran menjelaskan.

Ini berbeda dengan ketika seseorang menjalankan puasa untuk mengejar pahala, surga, atau pengampunan dosa dengan mengesampingkan peningkatan takwa. Selain tujuan tersebut tidak berbentuk produk (hasil yang nyata hari ini di dunia yang bisa diukur), pun juga kurang kuat dorongannya untuk mengeluarkan kehebatan diri (latihan berjihad). Inilah barangkali jawaban kenapa banyak orang yang beribadah (puasa), tapi karakternya dalam menghadapi hidup tidak terbentuk.

Lalu, apakah salah jika orang berpuasa untuk pahala dan surga? Salah dan tidak salah tentu bukan wilayah manusia untuk menghukuminya.

Bukankah banyak hadits Nabi yang berbicara puasa dan pahala, puasa dan pengampunan, puasa dan surga? Jika kita telaah, penjelasan Rasulullah SAW terkait dengan pahala, surga, dan pengampunan, ternyata posisinya bukan di tujuan, melainkan di balasan. Balasan sifatnya pasti selama persyaratannya kita penuhi.

Ibaratnya begini. Ada dua orang karyawan yang sama-sama pergi ke kantor setiap hari. Karyawan A menjadikan gaji bulanan sebagai tujuan. Sedangkan karyawan B menjadikan pengembangan diri sebagai tujuan. Keduanya tetap mendapatkan balasan (gaji) selama bekerja sesuai prosedur. Yang berbeda adalah karakter dan keahlian.

Secara kauniyah, karyawan B lebih bisa diprediksi akan memiliki keahlian yang lebih banyak dan karakter yang lebih kuat dalam waktu kurang lebih 10.000 jam hari kerja (6-7 tahun).

Artinya, puasa adalah madrasah atau moment of God’s education agar kita hadir sebagai sosok yang lebih bertakwa dari tahun sebelumnya dengan hasil yang nyata (produktif). Sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah, takwa itu pusatnya di dada (hati). “At-Taqwa ha huna,” demikian sabda beliau.