Serial Kecerdasan Hati – RESOLUSI 2022: STOP MEMBURU KEBAHAGIAAN!

Ubaydillah Anwar, CSC, CPT. | Heart Intelligence Specialist

Kebahagian kerap dijadikan sasaran resolusi di tahun baru. “Di tahun 2022 nanti, aku tidak ingin apa-apa. Tidak ingin kaya atau terkenal. I just want to be happy,” tulis seseorang di wall facebook-nya.

Meski menjadi ‘barang’ buruan banyak orang sejak tahun 1973—demikian menurut riset di psikologi—tapi Tuhan tidak menyuruh kita mencari kebahagiaan. Kita hanya diperintahkan untuk menjalankan perintah yang hasilnya pasti bahagia. Misalnya syukur, ridlo, atau optimistik, dst.

Artinya, kebahagiaan adalah akibat. Namanya akibat, pasti ia datang secara pasti tanpa dicari. Study para ahli menyimpulkan bahwa sebagian besar faktor penentu kebahagiaan adalah pilihan sikap internal. Karena itu, ada petuah bijak yang mengingatkan: hanya orang bodoh yang memburu kebahagiaan di luar sana, apalagi mahal pula biayanya.

Bahkan ada anekdot di grup WA yang saya ikuti. Seorang lelaki setengah baya di pagi hari menyeruput secangkir kopi hitam. Lalu diikuti dengan hisapan demi hisapan rokok kretek. Dan puncaknya, dari mulut laki-laki itu keluar ucapan: alhamdulillah, mudahnya bahagia di Indonesia.

EMPAT CIRI UTAMA KEHIDUPAN BERMAKNA

Sejatinya, berproses untuk menjadi orang yang bermaka adalah perintah untuk kita, sekaligus panggilan hati kita (inner call), dan kendaraan manusia untuk bahagia. Artinya, bermakna lebih tinggi derajatnya ketimbang bahagia.
Orang yang menjalani hidup bermakna pasti ujungnya bahagia, meskipun prosesnya terkadang penuh derita. Seperti apa kehidupan yang bermakna itu? Ada empat ciri utama kehidupan bermakna yang dapat kita jadikan resolusi sesuai kadar kita.

Pertama, orang akan merasakan hidupnya bermakna apabila ia memperjuangkan tujuan-tujuan yang besar, tinggi, atau yang sangat berarti baginya. “Kembali menjadi dosen adalah pilihan yang sangat berarti bagi saya setelah pensiun,” kata sahabat saya. Artinya, resolusi harus berangkat dari tujuan yang besar, tinggi, atau yang berarti.

Kedua, seseorang akan merasakan hidupnya bermakna apabila kehadirannya punya signifikansi bagi orang lain. Maksud signifikansi di sini bukan “merasa penting semata” atau “sok penting” tetapi bermanfaat karena kontribusi yang diberikan.

Rasulullah SAW menjelaskan, “Tangan di atas (selalu) lebih baik dari tangan di bawah,” (HR. Bukhori Muslim). Al-Quran menyebut sebagai “pemberi pinjaman kepada Allah” untuk orang yang mau berbuat baik dan bermanfaat bagi orang banyak.

Bahkan menurut laporan jurnal Positive Psychology, Standford University, 2014, signifikansi inilah yang membedakan orang bermakna dan orang bahagia. Bermakn berarti a giver (memberi), sedangkan berbahagia berarti a taker (mengambil).

Ketiga, orang akan merasakan hidupnya bermakna apabila ia memiliki kedaulatan diri yang kuat. Maksudnya, ia mampu mengambil keputusan penting berdasarkan pilihan-pilihan yang baik (ikhtiyar). Ia mukallaf (responsible) yang proaktif.

Tanpa disadari, banyak orang yang menyerahkan kedaulatan dirinya kepada orang lain atau kepada keadaan dengan mengatakan: hidup saya hancur dan begini jadinya karena si dia atau semisalnya. “Si dia” telah diangkat sebagai penguasa jiwa. Semakin sering kedaulatan itu diserahkan, semakin hampalah makna dalam jiwa itu.

Dalam al-Quran, kedaulatan diri adalah ciri kecerdasan hati tingkat tinggi (ulul albab). “ . . serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik,” (QS. Ar-Ra’du: 22).

Keempat, orang akan merasakan hidupnya bermakna apabila mampu memenangkan prinsip kebenaran ketika berhadapan dengan godaan. “Aku bahagia karena telah menjadi jujur,” kata Halimah, seorang petugas bandara Soetta yang melaporkan temuan cek miliaran kepada kantornya. “Merdeka atau mati,” semboyan pejuang kita dulu.

Berprinsip akan membuat seseorang pasti bermakna dan bahagia, asalkan berpijak di atas ajaran kebenaran. Tapi jika pijakannya di atas “benar sendiri” atau “menang sendiri” pasti ujungnya sengsara dan hampa makna.
Agar kebermaknaan dan kebahagiaan itu abadi (al-falah), al-Quran memberikan bocoran agar nawaitu dalam hati kita saat melakukan empat hal di atas menghadirkan “lillahi ta’ala”.