TERNYATA TIDAK SEMUA ORANG YANG BAHAGIA ITU ‘HIGH PERFORMER’

Kecerdasan Hati

Serial Kecerdasan Hati

TERNYATA TIDAK SEMUA ORANG YANG BAHAGIA ITU ‘HIGH PERFORMER’

Ubaydillah Anwar, CSC., CPT. | Heart Intelligece SpecialistHubungan antara rasa bahagia dan kualitas kinerja seseorang di tempat kerja telah diungkap banyak riset.

Dari banyak riset itu dapat disimpulkan hubungan keduanya tidak selalu kausatif (sebab-akibat).

Bahkan ada yang kontra-produktif (di luar dugaan). Dan hubungan ini juga dapat kita temukan di praktik dengan mudah.

Ada orang yang bahagia dengan keadaannya, namun kinerjanya rendah (happy low perfomers).

Ada yang rendah rasa bahagianya dan kinerjanya juga rendah (unhappy low performers). Sahabat saya yang seorang dirut HRD masih menambahkan dengan kalimat: “dan tidak mau pindah”.

Ada yang rendah rasa bahagianya, namun kinerjnya tinggi (unhappy high performers).

Terakhir adalah kelompok yang rasa bahagianya tinggi dan kinerjanya juga tinggi (high happiness high performers).

Potret Orang Indonesia

Kira-kira orang Indonesia di bagian mana dari 4 kelompok di atas? Belum pernah saya membaca hasi riset tentang itu. Tapi dari petunjuk riset lain, kita bisa menemukan sebuah potret umum.

Secara umum, orang Indonesia termasuk bangsa yang mudah untuk bahagia. Di tengah rumitnya persoalan sosial, indeks bahagia Indonesia jika dilihat di World Happiness Index (2021-2022) termasuk lumayan (82 dari 149 negara). Bahkan membaik saat Covid 19 mengamuk.

Meminjam guyonan Cak Nun, orang Indonesia itu memiliki teknologi rohani yang tinggi. Modal nikah cukup bismilah. Tidak perlu pakai bank guarantee. Masa depan serumit apapun cukup dihadapi dengan insya Allah. Dijajah bertahun-tahun, tetap tangguh. Sampai penjajahnya capek sendiri.

Hanya saja secara kemakmuran, di Asia Tenggara saja kita nomor 4 setelah Singapura, Malaysia, dan Filipina. Kemakmuran dilihat dari aspek modal sosial, keamanan, pemerintahan, dan ekonomi.

Artinya, secara syukur dengan lisan, kita sudah bagus. Syukur adalah pabrik utama rasa bahagia. Dalam keadaan apapun, mulut kita masih mudah untuk menyatakan al-hamdulillah.

Hanya saja, syukur dengan hati dan perbuatan, rata-rata kita masihh rendah. Kesyukuran dengan hati adalah kesimpulan yang membangun keyakinan dan kesadaran bahwa pada hari ini saya telah memiliki segala ‘resource’ yang berlimpah untuk maju, bahagia, dan bermakna (bermanfaat) sekaligus.

Setelah hati menyimpulkan itu, otak (head) dan tindakan (hand) akan bergerak untuk menciptakan perbuatan sebagai respon atas perintah hati. Tanpa keyakinan dan kesadaran itu, kreativitas otak tak bisa diharapkan. Dan sudah pasti, inovasi kinerja pun tidak terjadi.

Imam Ghazali dalam Ihya menulis bahwa inti syukur dengan demikian adalah menggunakan nikmat yang sudah ada dan itu berlimpah untuk tujuan-tujuan yang dikehendaki Tuhan, dan melawan berbagai dorongan dan tindakan kufur (ingkar).

Kekuasaan itu nikmat tapi jika digunakkan untuk kedzaliman atau malas untuk menggerakkan pembangunan, maka penggunaannya adalah kekufuran.